Senin, 05 Februari 2018

Pengalaman Menonton: Three Billboards Outside Ebbing, Missouri

Menonton film adalah benar-benar hiburan saat aku suntuk dikejar-kejar tenggat menulis. Dan, menonton Three Billboards Outside Ebbing, Missouri (2017) rasanya seperti bercinta yang enak tapi tidak sampai orgasme. 

Sebagai penulis aku mengagumi ide dari penggarapan film ini. Secara judul ia berbeda; tiga papan billboard di sebuah kota tertentu. Meski terkesan 'datar', judul tersebut malah memancing rasa penasaranku; papan iklan itu diapain, ya?

Premisnya pun sederhanya: seorang ibu yang berusaha sendiri mencari pelaku pembunuh anak perempuannya yang tidak sanggup ditemukan oleh polisi setempat. 

Saat menonton Three Billboards Outside Ebbing, Missiouri mau tidak mau membawa ingatanku pada film Dallas Buyer Club. Bagiku, yang tidak mendalami keilmuwan menonton film, tone kedua film ini hampir serupa. Mungkin juga karena musik score-nya yang mengingatkanku pada film Dallas. Hanya saja penyampaian cerita pada Dallas lebih halus dan lancar ketimbang Three Billboards. 

Aku menyukai ide yang dimunculkan pada awal film. Mildred Hayes (diperankan oleh Frances McDormand) memandangi tiga papan iklan yang berjejer kumuh. Ia kemudian mendatangi agensi untuk mengurus pemasangan iklan miliknya. Kejutan menarik berikutnya adalah mengenai isi papan billboards tersebut. 

Motif-motif pelaku yang menggerakkan plot cerita menjadi sangat menarik. Dan sangat menyegarkan bagiku. Hanya saja, meski tidak tertebak apa yang akan dilakukan para tokoh berikutnya, kejutannya menarik iya tapi tidak begitu mengejutkan buatku. Ya, karena aku juga menciptakan ya, jadi bisa memahami bagaimana pergerakan kejutan dari motif yang menggerakan plot. 

Seperti misalnya saat kemudian terkuak siapa yang turut membayari biaya pemasangan iklan tersebut. Juga, siapa yang membakar papan iklan tersebut. Juga pada bagian Dixon diminta datang ke kantor polisi saat tengah malam untuk mengambil surat dari mendian Willoughby. Kemudian Mildred melemparkan botol berisi minyak yang telah disulut sumbunya ke arah kantor polisi. Kantor polisi terbakar dan Dixon menjadi korban. 


Sumber
Dixon tentu saja selamat. Dan Dixon yang di awal cerita diceritakan sangat bermusuhan dengan Mildred, pada akhirnya malah berbalik membantu Mildred. Hanya saja, adegan pengakuan Mildred bahwa ia yang membakar kantor polisi (yang secara tidak langsung turut menyebabkan Dixon mendapatkan luka bakar), reaksi yang ditunjukkan Dixon terlalu 'biasa'. Hal ini disebabkan aku telah menonton film The Wailing. Adegan pikup setelah warga desa dan polisi menyambangi gubuk lalu diserang zombie dan sebagainya itu ngeri-ngeri sadis sekali. 

Makanya, ketika Dixon hanya nggiyem mendengar penjelasan Mildred, rasanya kok agak... anyep. Belum lagi alasan kematian Willoughby. Pula, kehadiran sosok pembunuh anak perempuan Mildred. Dan kebetulan dari seorang Dixon yang mendengar percakapan di sebuah bar.

Jalan ceritanya jadi terasa seperti kurang digarap lebih halus. 

Hanya saja, aku suka ending-nya. Mungkin kalau mau digarap lebih sedikit bisa menjadi menarik. Bagian akhir film tak berhenti pada percakapan antara Mildred dan Dixon mengenai keraguan-raguan yang barangkali bisa menjadi mantap melalui perjalanan yang akan mereka tempuh. Taruhlah satu atau dua adegan; Mildred dan Dixon menggebrak pintu rumah si Angela Hayes (anak perempuan Mildred). Lalu, film berakhir. 

Kok malah jadi terkesan seperti film-film kebanyakan, ya? He-he. 

Begitulah. Mungkin juga karena sutradara film ini juga yang menggarap film In Bruges dan Seven Psycopaths. Aku sudah menonton keduanya, dan kesadisan dalam film itu bisa ditampilkan dengan sebegitu riang, enjoy, dan satir. Hal tersebut tak bisa tampil maksimal dalam Three Billboards Outside Ebbing, Missiouri. Mungkin juga karena ini adalah film drama, ya. Aku suka pilihan rasa 'dingin' yang ditampilkan oleh Mildred Hayes. Hanya saja, pilihan rasa yang 'dingin' ini selain sudah tepat, namun juga sekaligus terasa nanggung. 

Oh ya, secara penciptaan karakter plus penokohannya, jempol patut diacungkan bagi pemeran Mildred Hayes dan Jason Dixon. Motif-motif penyusun latar belakang mereka oke, yang kemudian dihidupkan melalui akting dalam film. Tak lupa mengenai sisipan isu-isu rasialis dan tipikal buruk polisi yang diselipkan dengan begitu nge-blend dalam film juga patut diapresiasi. So good. 


Copyright © 2010- | Viva | Kaffee Bitte | Desi Puspitasari | Daily | Portfolio