Rabu, 03 Januari 2018

Menulis Sastra dan Naskah Drama

Catatan ini hadir atas obrolan -- obrolan yang muncul karena pernyataan Butet Kertaredjasa bahwa sekarang sedikit sekali penulis naskah drama -- dengan Masku di telepon. Ia meminta untuk mencatat temuan-temuan yang aku dapatkan selama berproses menulis naskah lakon/drama/teater. Aku pikir, ya kenapa tidak?

Awal tahun kemarin, 1 Januari 2018, aku datang ke sebuah diskusi yang diadakan oleh Jual Buku Sastra. Ada empat jenis penulis dan tulisan yang maju ke depan; novel, puisi, cerpen, dan naskah lakon. Aku tidak tahu bagaimana bisa empat jenis tulisan yang berbeda bisa berada di satu panggung. Ah, tapi ya sudahlah.

Satu pertanyaan menarik muncul; mengapa sekarang sedikit sekali penulis sastra yang menulis naskah drama/teater? Mengapa mereka lebih memiliki kecenderungan menulis cerpen, novel, atau puisi, dan bukan naskah drama?

Ibed Surgana Yuga, sutradara Kalanari Theater, yang juga menjadi sutradara di JARINGPROject menjelaskan kurang lebih seperti ini:

1. Pergaulan. Dulu, di TIM, seniman teater dan sastra berkawan karib. Semisal ada naskah berbahasa asing, kawan sastra akan menerjemahkan naskah tersebut ke bahasa Indonesia yang kemudian akan dipentaskan oleh kawan teater. Sekarang, pergaulan tersebut sudah terbelah menjadi dua kutub yang 'jarang' bersinggungan.

2. Format penulisan. Pembaca umum bila disodori naskah drama tentu akan lebih memilih novel atau cerpen yang format penulisannya lebih 'ramah' di mata. Yakni, berupa paragraf panjang dengan banyak penjelas. Sementara naskah drama cenderung melelahkan karena formatnya yang seperti (nama tokoh) titik dua (narasi), dan seterusnya. 

3. Kebutuhan. Naskah drama ditulis karena kebutuhan kelompok teater itu sendiri. Dan, tak harus menghadirkan penulis sastra atau khusus penulis naskah drama untuk menyusun cerita. Para aktor pun sutradara sendiri bisa menulis cerita untuk mereka sendiri. (Kecuali di luar negeri seperti Broadway, misalnya, ketika teater sudah menjadi industri komersial maka agensi teater akan memesan/meminta penulis menulis naskah drama untuk dipentaskan oleh kelompok-kelompok teater 'di luar' sana). 

Aku pun, sebagai pelaku sastra dan juga mulai beranjak menulis naskah drama memiliki jawaban dan alasan sendiri;

1. Pergaulan. Sebelumnya, aku adalah penulis yang tak tergabung dalam kelompok teater mana pun (tahun 2016 aku bergabung dengan JARINGPROject). Maka, kalau aku menulis naskah drama, naskah itu mau kuapakan? Tak bisa dipentaskan karena aku tak punya kelompok teater. Bisa, sih, naskah itu aku tawarkan pada kelompok teater di luar sana, tapi aku pikir akan lebih bermanfaat kalau aku menulis cerpen atau novel saja. Jangkauan pembacanya lebih luas tanpa harus bergabung dengan kelompok mana pun.

2. Pengetahuan. Menulis cerpen tentu berbeda dengan menulis novel. Pun, menulis novel sangat berbeda dengan menulis naskah drama. Dua kali berproses dengan JARINGPROject aku mendapat banyak pelajaran. Tak semata-mata menulis dialog yang cermat, ringkas, dan tepat sasaran, dan pengadeganan, aku juga harus memikirkan perihal pengadeganan. Yaitu, kemungkinan adegan dalam teks dipindah ke panggung. 

Proses reading naskah #SEKARMURKA
Novel memiliki keleluasan dan batasannya sendiri, begitu pula dengan naskah drama yang dipanggungkan. Bila dalam novel aku bebas berpindah-pindah setting lokasi dan waktu, saat menulis naskah lakon aku tak bisa seenak itu. Ada batasan ruang dan waktu di dalam menuliskan naskah drama. Pun, durasi. Aku bisa menulis novel setebal 500 halaman, misalnya. Di dalam naskah drama, aku harus bisa mengukur; jika aku menulis 48 halaman, berapakah waktu yang dihasilkan (penghitungan sudah termasuk perpindahan aktor, pengadeganan, musik, lampu, dan masih banyak lainnya). Terlebih lagi, pementasan teater sekarang 'sebaiknya' maksimal satu jam pertunjukan saja. 

Bayangkan, harus menulis naskah lakon satu jam pertunjukan dengan jaminan cerita dan pementasan harus menarik dan memukau. Tantangan banget, kan?

3. Aku lupa tadi menjelaskan apa (hahaha). Skip saja, ya.

Masku pun menjelaskan bahwa sebenarnya pernyataan kami sama; hanya saja Ibed menjawab menggunakan sudut pandang obyek, sedangkan aku menjawab menggunakan sudut pandanng subyek (atau pelaku). Dua-duanya tak ada yang salah. 

Ibed pernah mengatakan; naskah lakon pada sastra seolah tak begitu dianggap dan pada bidang teater sendiri ia dianaktirikan karena sekarang banyak kelompok yang bisa pentas tanpa menggunakan naskah berupa teks/tulisan. 

Aku sempat mencari celah di mana aku bisa belajar bereksplorasi dengan keadaan yang sepertinya pesimis sekali untuk penulis naskah lakon berkembang. Tapi, malam ini aku mendapat cerita bahwa Butet Kertaredjasa mengatakan bahwa sekarang sedikit sekali penulis yang berkecimpung dalam penulisan naskah lakon, padahal bidang itu sangat bisa digarap.

Nah, sepertinya akan ada banyak sekali tantangan yang bisa digarap, diisi, dan dihadapi, kan? :)
Copyright © 2010- | Viva | Kaffee Bitte | Desi Puspitasari | Daily | Portfolio