Niat konten filmnya bagus, hanya sayang eksekusi dan hasil akhirnya sangat buruk. Tapi, aku tetap apreasiasi dengan tidak menyesal telah keluar duit nonton di bioskop dan dengan enggak ngetawain penonton yang nangis atau ketawa.
Aku berangkat sendiri saat menonton film AAC2 di bioskop. Rabu, 27 Desember 2017, (kalau tidak salah) hari keempat dengan jumlah penonton sudah mencapai angka 1 juta. Hari kelima angka penonton sudah mencapai angka 1,2 juta. Berarti aku menyumbang satu angka di hari kelima tersebut. :P
Bagiku eksekusi filmnya begitu buruk. Bagi orang lain bisa jadi begitu menarik dan indah. Maka, setelah membikin status singkat di facebook, aku memutuskan untuk tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan kawan di kolom komen. Pun, aku tak ingin membeberkan keburukan yang menjadi kelemahan film ini. Sayang saja, bila kemudian ada kawan yang berangkat menonton hanya ingin mencari kelemahan dan kekurangan film ini untuk kemudian dicemooh.
Aku hanya ingin berkomentar, dengan sedikit memberi solusi. Karena, aku juga seorang kreator yang tahu rasanya betapa lelah dan menguras tenaga saat menggarap sebuah produksi. Sebaiknya sih kerja keras itu menghasilkan karya yang bagus, ya, biar tidak muspra. Ah, film ini meski tidak bagus-bagus amat, tapi juga tidak muspra, kok. Setidaknya dari jumlah penonton yang membludak, pihak film menangguk banyak untung. Minta duitnya dong, Pak, buat rabi. :P
Menulis novel, menulis skenario panggung atau film, dan bahkan menulis skenario adaptasi dari novel atau media lain ke media lainnya lagi itu enggak mudah. Hasil tulisannya pun akan dienterpretasikan oleh banyak kepala lagi; sutradara, aktor, lampu, kamera, dll.
Aku tidak kecewa menonton film AAC 2. Tidak ada karya yang buruk karena banyak orang telah bekerja keras untuk sebuah produksi.
Tapi sekiranya bisa direvisi, aku mau usul: Adegan salat di kelas aja, kalau direvisi sepertinya bisa lebih bagus dan masuk akal. Tangga dramatiknya pun bisa dapat. Biar cerita tidak berjejalan informasi yang seolah-olah ingin menunjukkan "rempong lho mengadaptasi novel tebal jadi film durasi tertentu". Skenario dan film adalah karya "baru", jangan takut-takut melangkah dan mengambil keputusan membabat hal-hal yang tidak perlu, dan menggantinya dengan sesuatu yang baru.
Misalnya; Fahri berlari masuk ke kelas dan sedikit terlambat. Sesampainya di dalam kelas ia dicemooh mahasiswanya karena ngotot mau salat dulu. Setelah itu ia bertanya siapa yang belum baca diktat profesor siapa itu. Mahasiswa yang belum baca dipersilakan keluar. Konflik terjadilah. Dosen pengganti, ngeyel tetap salat, muslim, datang dari negara terbelakang, ehh tapi kok 'semena-mena' mengusir mahasiswanya. Dengan begitu, adegan Fahri minta dua mahasiswa balik ke kelas bisa jadi touché yang oke. Juga bisa jadi alasan ia mulai mendapat perhatian dari mahasiswa cewek yang penasaran.
Itu baru satu. Masih banyak adegan lain sekiranya yang bila dikuliti dengan detail banyak sekali kemblesetan logika cerita dan penokohan juga alur yang bisa direvisi. Sehingga film ini bisa tampil jauh lebih apik. Terdengar sangat melelahkan, ya? Ya, memang proses membuat sebuah karya yang berkualitas membutuhkan banyak energi dan keseriusan.
0 comments:
Posting Komentar