Jumat, 02 Juni 2017

Cerita Bersambung Majalah Femina: PERTARUNGAN TERAKHIR bagian 2

Saat menulis cerber "Pertarungan Terakhir" aku membaca beberapa cerita silat sebagai pijakan dan sumber pengetahuan baru. "Empat Iblis Kali Progo" adalah salah satu judulnya. Selain itu ada juga "Sosok Perawan di Lembah Nista" 😛 yang barusan hanya judul karanganku saja.

Lalu, bagaimana memadukan cerita khas Majalah Femina dengan alur dan cara penulisan khas cerita silat? Yaa, ada-laah. Pengetahuan itu tak bisa aku jabarkan di sini agar tak jatuh ke tangan pendekar berwatak jahat.

Seorang penulis sebaiknya tak membatasi diri dalam meningkatkan kemampuan menulisnya, dan juga lebar jangkauan jenis tulisannya. Juga, jangan mau dibatasi. Ada banyak hal yang bisa dieksplorasi dengan cara bersenang-senang.

Pertarungan Terakhir_Bagian 2

Desi Puspitasari

Tak ada yang lebih membikin cemas hati Anita kecuali mendapati suaminya pulang dalam keadaan luka-luka. Perempuan itu tak pernah tahu, bagaimana bisa selalu ada perkelahian dalam hidup Bram. Memangnya apa, sih, yang ingin dibuktikan laki-laki itu di dalam hidupnya melalui pertarungan?

Kemenangan itu takkan memberinya apa-apa kecuali rasa puas yang hanya bersifat sementara. Kelak, masih akan ada pertarungan berikutnya yang harus dihadapi suaminya. 

Kekalahan pun takkan memberinya apa-apa kecuali dendam, rasa ingin membuktikan bahwa di adu jotos berikutnya ia harus meraih kemenangan. Juga pembuktian bahwa berikutnya ia bisa memukul mundur para lawan dan membuat kelompok preman di wilayah tertentu menjadi kocar-kacir. 

Anita tak pernah mengerti alasan apa yang membuat Bram masih terus bertarung melawan musuh-musuhnya. Tak bisakah laki-laki itu 'pensiun' dan menjalani hidup dengan tenang seperti layaknya laki-laki yang telah berkeluarga yang lain?

Malam ini, untuk kali ke sekian, Bram pulang dengan luka di pelipis. Kerah kaus gombrohnya melar -- sepertinya kena tarikan kuat dari lawan yang mencoba menonjok wajah suami Anita. Laki-laki itu duduk melorot di sofa di ruang tamu. 

Di ruang tengah, Anita menghela napas berat di depan kotak P3K. Tatapannya tak lepas dari perutnya yang mulai membuncit. Usia kandungannya hendak masuk bulan keempat. Sebentar lagi perutnya akan membesar hingga tampak jelas dari balik daster maupun kemeja kerjanya. 

Apa Bram belum sadar kalau hidupnya sudah berubah sama sekali? Dari laki-laki bujang menjadi seorang kepala keluarga, dan beberapa bulan ke depan akan menjadi seorang bapak? Ada banyak tanggung jawab yang sudah harus mulai dipikirkannya ketimbang mengeluarkan banyak tenaga dan keselamatan jiwa hanya untuk meladeni perkelahian.

Anita tak peduli dengan teman-teman Bram yang sudah berkeluarga tapi masih hobi tonjok-tonjokan. Itu urusan orang lain. Untuk urusan keluarganya sendiri, Anita sangat ingin Bram berhenti sama sekali menjadi preman. Toh, sudah sejak lama laki-laki itu bekerja dan mendapat gaji bulanan yang lebih dari cukup. 

Untuk mengalihkan pikiran, Bram bisa ikut-ikutan memelihara burung jenis tertentu, yang bila sudah 'jadi' bisa dijual kembali dengan harga yang lebih mahal. Atau, Bram bisa menghabiskan waktunya dengan memancing setiap akhir pekan. Anita takkan merengek minta diajak, kok. Ia tahu bahwa setiap pasangan meski sudah menikah, masing-masing individunya tetap membutuhkan me-time untuk menjaga kewarasan pikir dan jiwa. 

Tangan Anita mengelus perutnya. Ia sedang bersusah hati. Ada satu ketakutan besar yang terus menggayuti pikirannya. Mungkin malam ini ia akan mengutarakannya pada Bram. Bagaimana pun, keresahan seorang istri patut diketahui juga oleh suaminya. 

Anita keluar dari ruang tengah membawa kotak obat. Dengan cekatan, karena telah terbiasa, Anita memeriksa luka suaminya; apakah terlalu dalam, apakah harus ditutup rapat lalu dibawa ke dokter untuk dijahit keesokan harinya, atau diolesi betadine saja sudah lebih dari cukup.  

"Aku enggak suka kalau Mas pulang dalam keadaan begini terus...," gumam Anita saat merawat luka di pelipis suaminya. Ia membersihkannya dengan air hangat, lalu dikeringkan dengan handuk lembut yang bersih. Betadine dioleskan dengan perlahan agar tak menambah sakit. 

Muka Bram mengerenyit-ngerenyit menahan perih. 

Malam itu sepertinya kekesalan Anita lebih dari hari-hari sebelumnya. Entah karena ia telah letih menahan semuanya atau lebih karena pengaruh hormon. Kapas terakhir ditekan agar keras tepat di luka pelipis suaminya.

Bram berteriak kesakitan. "Kamu kenapa, Sayang?" tanyanya saat melihat istrinya bersungut-sungut.
Anita belum mau bicara, tapi saat akhirnya ia membuka suara, air mata jatuh tak tertahankan. Bahunya terguncang-guncang. Ia menangis sejadi-jadinya. "Hu... hu... hu...."

Bram membetulkan duduknya. Ia merangkul pundak istrinya, merengkuhnya erat, mencoba memberi kehangatan yang sekiranya dapat menenangkan kecemasan yang sedang dirasakan istrinya.

"Aku takut kehilangan kamu, Mas," kata Anita setelah isaknya mereda. Tangannya mengelus perlahan permukaan perutnya. Bram turut membelai perut yang mulai membuncit itu dengan lembut. 

"Aku takut kehilangan kamu...," ulang Anita yang kini mulai mengisak lagi. "Setiap kamu pulang terlambat, pikiran buruk selalu melintas di kepalaku. Pertanyaan-pertanyaan cemas itu membuatku tak bisa melakukan apa-apa. Aku terus-menerus khawatir; kali ini kamu bertarung dengan siapa lagi, malam ini kamu kena sabet pedang atau pulang dengan selamat dan utuh, lalu... lalu...."

Bram semakin mengeratkan pelukannya. 

"Bukannya aku tak bersyukur, tapi kamu jarang sekali memberiku ketenangan dan kenyamanan, Mas...," isak Anita kembali keras. Perempuan itu menarik-narik napas lalu mengembuskannya pendek-pendek demi menguasai emosinya, dan lumayan berhasil. "Aku takut suatu ketika kamu tak lagi pulang ke rumah. Sementara itu aku sedang kepayahan hendak melahirkan, lalu... lalu... aku melahirkan ditemani siapa...? Hu... hu... hu...."

Tangis Anita kembali tumpah. Ia telah menahan semua kekhawatirannya seorang diri. Ikatan pernikahan itu telah menumbuhkan perasaan cinta, sayang, dan juga rasa takut kehilangan di dalam dirinya. Ia tak bisa berpikir jernih, kira-kira apa yang akan dilakukannya jika suatu hari Bram tak bisa pulang dalam keadaan hidup setelah bertarung melawan musuh-musuhnya. 

"Berjanjilah ini akan jadi pertarungan terakhirmu, Mas....," pinta Anita dengan amat sangat. Bram tak menjawab permintaan istrinya. Ia hanya mengecup puncak kepala Anita berkali-kali. 

Dan, Bram masih saja berkelahi setelah Anita melahirkan Arkan. Oh, laki-laki itu menemani istrinya melahirkan di bidan. Bram pula yang mengazani telinga Arkan supaya kelak anak laki-laki itu menjadi seseorang yang soleh dan tak meninggalkan agamanya. 

Tak bisa dimungkiri, hari-hari Anita yang muram bila Bram terlambat pulang sampai larut malam, mulai sedikit berkurang. Kehadiran Arkan berhasil mengalihkan perasaan cemas dan takut yang sebelumnya kerap menghinggapi pikiran Anita. 



Selengkapnya sila membaca di Majalah Femina edisi 22/XLV 26 Mei - 1 Juni 2017. 😊
Copyright © 2010- | Viva | Kaffee Bitte | Desi Puspitasari | Daily | Portfolio