Jumat, 26 Mei 2017

Cerita Bersambung Majalah Femina: PERTARUNGAN TERAKHIR bagian 1

Teman-teman, kemarin baru saja terbit novel terbaruku Mimpi Kecil Tita (sudah bisa didapatkan di toko buku kesayangan kamu), minggu ketiga bulan Mei ini terbit cerita bersambungku di Majalah Femina. 

Cerber ini berjudul Pertarungan Terakhir. Pertarungan terakhir adalah janji seorang suami kepada istrinya. Setelah ia berhasil memukul mundur kepala begundal Desa Karang Geni demi menyelamatkan anak mereka, tak akan ada lagi perkelahian.

Jadi, kalau Teman-teman ke Gramedia bisa banget membawa novel #MimpiKecilTita, #MembunuhCupid, dan novel-novel Desi yang lain, plus Majalah Femina ke kasir. 😉
Selamat membaca, ya! 

Pertarungan Terakhir_Bagian 1

Desi Puspitasari



DADA ANITA SESAK BUKAN MAIN. Ingin rasanya ia berteriak sambil berlari ke tengah arena perkelahian. Lalu, ia berdiri dengan tatapan menantang, tak takut melawan pimpinan dan seluruh anak buah preman desa Karang Geni. Tapi, ia harus menahan diri. Tak ada gunanya bertindak gegabah di saat genting seperti ini. 

Anita menahan air matanya agar tak jatuh menetes. Ia juga menahan diri agar tak mengisak. Tujuh tahun menjadi istri Bram, menempanya menjadi perempuan yang tegar. "Olah emosimu agar tak menjadi perempuan cengeng. Jangan mudah menampakkan emosi secara serampangan. Menjadi manusia sejati adalah ia yang mampu mengendalikan dirinya sendiri, alih-alih dikendalikan oleh emosinya."

Suasana lapangan desa Karang Geni sore ini tampak berbeda. Tempat yang biasanya ramai oleh hilir mudik anak-anak naik sepeda, atau rombongan bocah laki-laki bermain bola, atau rombongan anak perempuan bermain apa saja, kali ini begitu lengang. Hanya ada seorang laki-laki berkulit gelap berdiri di bagian tengah. Tubuhnya tegap, tatapan matanya keras. 

Laki -laki itu Bram, suami Anita. 

Sementara tak jauh dari lapangan, dekat rerimbunan pohon bambu muda, seorang anak laki-laki berdiri tak kalah tegap. Tatapan matanya tak kalah berani. Bahu bocah laki-laki itu ditahan oleh seorang laki-laki dewasa berwajah garang. Meski samar, tampak ruyung, salah satu senjata bela diri, terselip pada bagian pinggang si laki-laki berwajah garang.

Bocah itu bernama Arkan, anak laki-laki Anita dan Bram.

Anita berdiri di balik salah satu pohon besar tak jauh dari gardu poskamling. Posisinya aman, tak bisa dilihat oleh suaminya, anaknya, dan nanti oleh kepala preman Karang Geni. 

Anita mengenakan celana panjang, rambutnya yang hitam lurus diikat sekadarnya... diikat ekor kuda dengan beberapa bagian keluar berantakan. Anita tak bisa silat. Ia tak menguasai ilmu bela diri apa pun. Perempuan itu hanyalah seorang pekerja kantoran biasa bergaji cukup dan berbonus lumayan di sebuah perusahaan swasta. Datang dan hendak menyaksikan sendiri pertarungan suaminya berkali-kali hampir membuatnya ingin pingsan.

"Aku sudah datang memenuhi janji; tepat waktu, sendiri, dan tak membawa senjata!" seru Bram lantang. Suaranya menggelegar, sangat berbeda dengan kesehariannya; lembut dan mudah terpingkal saat berkumpul dengan anak dan istrinya.

Bram menoleh, memperhatikan sekelilingnya. Tatapannya sempat terpaut pada tatapan anak laki-lakinya. Hal ini yang kemudian membuat Anita kagum; Bram tak goyah dan Arkan tetap tegap. Tak tampak kekhawatiran atau perasaan minta diselamatkan di mata si bocah. 

Anita ingin berlari dan memeluk anaknya. Atau, jatuh ambruk sambil menangis tersedu-sedu; meminta supaya perkelahian sore ini dibatalkan saja. Sudah cukup! Sudah cukup segala perkelahian yang harus selalu dihadapi Bram. Bahkan, kali ini pertarungan itu melibatkan anak laki-laki mereka satu-satunya. 

Dada Anita kembali sesak. Begitu banyak kepedihan, kesedihan, raungan marah, sekaligus rasa nelangsa yang dideritanya sebagai seorang ibu dan seorang istri. Derita itu menggumpal, menyesak-nyesak, membikin wajahnya perlahan menghangat, merona merah. 

Bibir Anita komat-kamit, menenangkan dirinya sendiri. Sekali lagi, ia harus berpikir rasional dan tak boleh bertindak gegabah. 

Seorang laki-laki berjalan menuju tengah lapangan. Ia lalu berdiri berhadapan tepat di depan Bram. Tinggi laki-laki itu sekitar 170 cm, lebih tinggi 3 cm dari Bram. Tubuhnya tegap dan kekar. Anak buahnya yang berjumlah banyak turut keluar, berdiri berjajar di belakang si pemimpin. 

Nama laki-laki itu Bimo. Anita pernah mendengar ceritanya mengenai Bimo yang mudah naik pitam dari Bram. Kepala preman Karang Geni itu jarang berpikir panjang. Jumlah anak buahnya yang berjibun membikinnya terlalu percaya diri. 

"Bram...," Bimo berdeham gusar. "Peraturannya adalah satu lawan satu. Kamu boleh memilih senjata yang telah kami siapkan." 

Seorang laki-laki muda maju. Tangannya menggenggam dua senjata; toyak dan ruyung. 

"Kalau kamu menang tanpa kecurangan, aku akan minta maaf dan anakmu kembali. Permasalahan ini selesai," Bimo melanjutkan bicaranya masih dengan nada gusar. "Kalau kamu kalah, anakmu harus minta maaf pada anakku. Kekasaran dan tingkah laku anakmu tak bisa dibiarkan."

Ingin rasanya Anita menyusul suaminya, lalu menghantamkan panci atau wajan teflon ke kepala botak Bimo. Bukan Arkan yang membikin masalah pertama kali, tapi justru Danu, anak Bimo, sendiri. Kedua tangan Anita mencengkam batang pohon erat-erat untuk menyalurkan emosi yang tertahan.

Permasalahan ini sebenarnya tentang perkelahian di antara Arkan dan Danu. Kejadiannya sekitar seminggu yang lalu. Sebelum kemudian perkelahian dua bocah ini merembet menjadi pertarungan antara seorang bapak melawan kelompok preman Karang Geni.

Suatu hari, Arkan bermain bola bersama teman-temannya di lapangan. Timnya menang melawan tim Danu. Sebenarnya teman-teman yang lain menerima kekalahan dengan biasa saja, toh hanya main bola antar anak kampung. Tapi, Danu lain. Ia tak menyukai kemenangan tim lawan karena Arkan berhasil berkali-kali membikin gol. 

"Bapakmu ki preman ora nggenah!" teriak Danu mendorong bahu kurus Arkan. 

Arkan terhuyung jatuh. Ia bangkit cepat dan balas mendorong Danu. Arkan sebenarnya tak mengenal Danu dengan baik. Ia hanya tahu bocah lelaki yang mengolok-olok bapaknya itu anak sekolah SD desa sebalah, duduk di bangku kelas 6, dua tingkat di atasnya. 

Ejekan Danu tentang bapaknya Arkan semakin kasar dan terdengar tidak sopan. Tak bisa dicegah, terjadi baku hantam antara Arkan dan Danu. Jotos-jotosan dan saling tendang itu dimenangkan Arkan. 

Danu tak terima. Ia pulang naik sepeda sambil menangis. Di belokan jalan, bocah itu berhenti mengayuh kendaraannya. Ia berteriak sambil mewek, mengancam Arkan. "Aku laporin kamu sama bapakku! Biar bapakmu dihajarnya sampai babak belur!"

Menjelang magrib, Arkan pulang. Ia diam saja saat ditanya Anita, "Mukamu kenapa, Nak, kok bengap? Lho, tangannya berdarah! Aduh, apa yang...."

"Enggak apa-apa, Ma. Tadi Arkan jatuh saat main bola," kata Arkan, lalu bocah itu ngeloyor ke kamar mandi. Terdengar suara cebar-cebur air, membersihkan luka di sekujur tubuh di bocah. 

Anita baru mengetahui cerita tentang perkelahian anaknya dari teman Arkan. "Iya, Bude, Arkan berkelahi sama Danu, anaknya Pak Bimo."

Deg. Jantung Anita seperti berhenti berdetak saat mendengar nama Bimo disebut. Ia berharap perkelahian antar bocah itu hanya berhenti sampai di lapangan bola. Kalah atau menang dalam pertandingan itu hal yang lumrah, kan? Dan, bocah yang dididik menerima kemenangan dengan sederhana dan menerima kekalahan dengan hati lapang akan tumbuh menjadi dewasa yang bermental kesatria. 

Anita mulai melupakan perkelahian itu. Hingga tepat seminggu kemudian, Bram menemuinya dengan wajah keruh. Waktu itu malam hari menjelang salat isya. Arkan belum pulang dan Anita tak cemas. Setelah belajar mengaji di TPA di masjid, bocah itu biasa melanjutkan salat magrib dan isya di sana. 

"Bu, ada yang perlu aku bicarakan, tentang hal serius." Bram menarik tangan istrinya, mengajaknya duduk di sofa sederhana di ruang tamu mereka. 

Bayangan buruk mengenai berbagai macam hal langsung berseliweran di kepala Anita. Dengkulnya semakin lemas ketika suaminya menunjukkan pesan pendek di ponselnya. 

Arkan disekap di kediaman Bimo karena telah melukai Danu. Bram sebagai orangtua Arkan diminta datang dan berkelahi secara jantan bila ingin anaknya bebas. 

Seketika itu napas Anita sesak. Selama ini ia belajar bertabah hati saat mendengar suaminya bertarung dengan preman kelompok lain. Sejauh ini ia berhasil tegar dan tak menangis setiap kali melihat suaminya terseok pulang ke rumah. 

Bram selalu menang. Di awal pernikahan, Bram tak bisa berjanji takkan berkelahi tapi sebisa mungkin ia akan menghindari pertarungan. Laki-laki itu berusaha untuk tak melibatkan diri. 

Kali ini Anita tak tahan lagi. Anaknya disekap hanya gara-gara membela bapaknya yang seorang preman. Seorang anak laki-laki yang tak tahu apa-apa dan sebaiknya tak dilibatkan dalam urusan orang dewasa.

Air mata menggenang di pelupuk mata Anita. Tak lama kemudian pipinya basah sama sekali. "Aku sudah... nggak tahan....," gumam Anita dengan suara serak. Gelombang kesedihan yang besar menumbuk-numbuk perasaannya. 

Bram meraih istrinya ke dalam pelukan. Anita menghindar sampai akhirnya suaminya berjanji ini akan menjadi pertarungan terakhir. 


Selengkapnya sila membaca di Majalah Femina edisi 21/XLV 19 - 25 Mei 2017. 😊
Copyright © 2010- | Viva | Kaffee Bitte | Desi Puspitasari | Daily | Portfolio