Kamis, 23 Juni 2016

Cerita Bersambung ROS bagian 3 di Majalah Kartini

Ringkasan Cerita Sebelumnya 
Ros syok mendengar cerita tentang Pa. Ia berusaha tegar meski hatinya ingin menangis. Ia dapat membayangkan seperti apa perasaan Ma ketika mengetahui hal itu. Ros memberanikan diri menemui Pa dan mengakui siapa dirinya. Pa lantas mengundang Ros makan malam di apartemennya. Di sanalah untuk pertama kalinya Ros bertemu Sebastian. Keesokan hari Ros pun membuat ulah. Ia mengobrak-abrik tatanan bunga untuk pesta ulang thaun di hotel. 

Biar saja bu Virda dan teman-teman kelimpungan. Ruangan yang harusnya sudah siap dengan hiasan bunga-bunga semerbak dan menawan demi menunjang acara pesta ulang tahun, hanya akan terlihat berantakan dan bahkan beberapa sudut ruangan ada yang kosong melompong. 

Keesokan pagi Pa datang ke rumah dengan menahan amarah. Ia tak meledak lalu menghambur-hamburkan kalimat penuh emosi, tidak. Ia hanya mengatakan bahwa bila aku ingin menyalurkan kemarahan karena perbuatannya, sebaiknya tidak merugikan orang lain. Pa bisa mengatasi masalah dengan caranya, namun: 1. Hotel tercoreng namanya,
2. Para pegawai florist harus mendapatkan pinalti atas perbuatan yang tidak mereka lakukan,
3. Sebaiknya aku bisa memisahkan antara permasalah pribadi dengan kerja profesional.

Baik, kataku dalam hati. Bila tidak diizinkan melakukan keonaran di hotel, aku akan melakukannya di tempat lain.

Pa tidak memecatku, hanya saja ia minta aku bertanggung jawab dengan meminta maaf pada seluruh kawan-kawan florist. Tapi aku belum terpikir untuk melakukan permohonan maaf.

Aku membolos tiga hari. Hari pertama, aku tidak melakukan apa-apa. Ponsel masih aku matikan. Aku tahu betul, bila kunyalakan, pesan masuk bernada jengkel pasti akan datang bertubi-tubi.

Hari kedua, aku melongok ke luar jendela. Apakah sekiranya aman kalau aku berjalan-jalan keluar hari ini? Kartu nama flower shop milik Sebastian aku baca lekat-lekat. Hari ketiga, dengan mengenakan masker menutup separuh muka (pura-puranya kena flu) aku berkendara ke luar rumah. Sepeda motor aku parkir agak jauh di trotoar jalan.

Tiba di halaman depan flower shop milik Sebastian, aku meraih bunga apa saja semampuku. Aku campakkan begitu saja di dekat ember penyimpan berisi air. Kuraup sekali lagi, lalu kucampakkan di jalan. Hari belum terlalu siang, trotoar masih sepi. Aku sempat menginjak-nginjak beberapa tangkai sebelum berlari pergi. Menyelinap bersembunyi di sebuah gang kecil. Menunggu beberapa saat sebelum keluar dan berkendara pulang.

Merusak toko bunga Sebastian ini tidak disangka menyenangkan sekali. Kupikir Sebastian tahu, tapi ia diam saja. Kali ketiga aku mengacau, Sebastian sempat hampir memergokiku. Ia melihat dari bagian dalam toko yang berjendela kaca lebar. Sempat aku mendengar ia memanggil, “Hei, Ros...“ Tapi aku sudah cepat kabur.

Berikutnya aku melakukan dengan cara lain. Aku menelepon toko bunga Sebastian, memesan berbagai macam jenis dengan rangkaian yang berbeda-beda.Semua pesanan tersebut kukirim ke alamat tujuan seperti kuburan, panti lansia, juga bahkan pernah tempat penampungan tuna wisma. Karena merasa tidak pernah memesan, mereka pasti menolak dan tak mau membayar.

Bunga rangkaian sudah tak lagi segar, pegawainya pulang dengan kerugian yang tak seberapa—namun bila terjadi berkali-kali tentu menjadi sebuah kerugian yang besar.

Seminggu melakukan keonaran, aku kembali mendekam di rumah. Beberapa hari tak terjadi apa-apa. Pa tak datang ke rumah. Sebastian juga tak mendatangiku untuk bertanya atau mungkin marah-marah. Teman kantor juga tak berusaha mencari tahu. Aku tiba-tiba merasa hampa.

Semua tindakanku salah. Aku marah namun tak dapat mencegah untuk tak berbuat gegabah. Apa aku harus minta maaf?

***

“Seharusnya kamu malu dengan semua perbuatanmu, Ros.”

Aku kira bibir Ma bergetar saat mengatakan kalimat barusan. Suaranya terdengar bergoyang. Pagi ini aku menelefonnya saat tak tahu harus melakukan apa lagi.

“Aku dan Pa-mu bahkan tidak bertengkar saat kami berpisah. Aku sudah bertemu Sebastian dan ia bahkan menangis minta maaf. Dan, sebagainya.”

Ma kemudian diam lamaaa... sekali. Berkali-kali ia menyusut ingus dan mendesah berat. Tuhan. Aku kira hanya aku yang terluka karena peristiwa 20 tahun yang lalu. Tapi, perangaiku yang buruk, malah membikin tiga orang yang lain tersakiti.

“Apa yang sebaiknya aku lakukan, Ma?”

“Meminta maaf.”

Terbayang teman-teman hotel yang akan menggeruduk begitu aku sampai di tempat kerja.

Sudah seminggu lebih aku tak berangkat. Kuanggap diriku sudah mengundurkan diri begitu saja. Sungguh, tindakanku ini memalukan. Aku juga tak sanggup membayangkan aku mengetuk pintu dan masuk ruangan kerja Pa.

Laki-laki yang berparas letih saat makan malam di tempat Sebastian itu tak marah saat aku mengacaukan pekerjaannya.

Penerimaan akan sikapku yang keterlaluan dengan legawa itu malah membuatku sungkan. Juga Sebastian. Ia memiliki hak untuk mendatangiku, marah karena merugikannya secara waktu dan finansial, mengadukanku pada Pa, dan sebagainya. Tapi tak ia lakukan.

“Pada Pa?” tanyaku seperti anak kecil.

Aku sudah dewasa tapi menentukan sikap secara mandiri pun aku tak mampu.

“Pada siapa saja yang menurutmu kau harus meminta maaf.” 

Saat itu malam hujan turun deras. Aku kadang suka bertanya dalam hati, mengapa dalam adegan cerita fiksi atau mungkin juga film, keadaan hujan selalu digunakan untuk mendukung suasana cerita dalam kondisi tertentu. Seperti yang kualami saat ini; ban motor matic-ku selip saat melindas lubang kecil di sebuah jalan. Ban depan tersorok masuk teralis gorong-gorong saluran air bawah tanah. Motor matic ini memang tidak gesit dan kurang lincah dikendalikan. Ditambah kondisi jalanan yang licin.

Aku terjatuh dan menahan tubuh menumpu pada dua lengan. Aku kira semua akan baik-baik saja sampai aku berdiri dan terjatuh lagi. Kepalaku pusing. Kausku basah sama sekali dan aku tidak bisa berdiri. Tidak ada banyak orang berjalan di luar karena keadaan hujan.

Seseorang dalam tudung payung mengulurkan tangan.  Aku menerima dan ia membawaku masuk. Orang-orang di kafe menoleh sejenak sebelum kembali menghadap minuman mereka. Tidak ada untungnya mengurusi seorang pengunjung basah kuyup seperti tikus kecemplung got. Menyeruput minuman hangat di hari hujan adalah pilihan yang jauh lebih baik.

“Motorku….” Aku menggumam sembari menggigil kedinginan. Aku membungkuk untuk memeriksa kondisi kaki. Jaket orang yang menolongku disampirkan bahuku. Sebelum keluar orang itu masih sempat memesan minuman panas pada pelayan untukku. Sembari menunggu, aku merapatkan jaket. Aroma parfumnya lembut.

“Aku sudah menyimpan motormu. Aku kenal pemilik kedai, aku titipkan di bagian belakang kedai ini.“

Aku mendongak. Tak lama, orang itu sudah kembali. Orang yang menolongku ternyata Sebastian.

“Kau tak apa-apa, Ros? Apa ada yang sakit?” Sebastian mempersilakan pelayan meletakkan cangkir cokelat panas. Ia duduk mengibas basah di pakaian dan memaksaku untuk segera menyeruput minuman. Ia bahkan hendak meminjamkan pakaian kering tapi aku menolaknya.

Sebastian menunggu sampai minumanku habis. Ia panik ketika terdapat baret di telapak tanganku yang sudah kering. Dengan lembut ia membersihkan pasir halus yang menyelip di antara baret. Aku mengatakan bahwa tak mungkin ada pasir pada saat hari hujan tapi laki-laki itu tidak peduli.

“Aduh…” aku mengeluh. Kepalaku hanya pening sedikit. Namun, reaksi Sebastian sungguh di luar kewajaran. Ia khawatir bukan main. Setelah membayar pesanan, aku dibawa ke rumah sakit. Astaga, ia berlebihan sekali. 

Ia mulai menjalankan mobil dengan hati-hati. "Apakah kakimu bengkak? Bagian pergelangan terkilir ke arah yang tidak benar?”

“Aku baik-baik saja. Sungguh.” Aku menenangkan Sebastian. Tak ingin ia cemas berlebihan. “Hujan sudah reda. Sebaiknya kita kembali ke kedai. Aku akan pulang dengan motorku dan...“

Kami meluncur menuju kediaman Sebastian. Karena katanya aku tak mau ke rumah sakit, maka ia akan merawatku di apartemennya. Besok pagi ia akan mengantarku mengambil motor yang dititipkan di kedai.

“Apa kau melakukan ini karena aku anak ayahku?” tanyaku hati-hati. Aku meletakkan kepala di sandaran—pening yang sedikit itu mulai datang lagi.

“Tentu tidak.” Sebastian hanya menengok sekilas. “Semisal kau hanya seekor anak kucing terlantar, atau bulldog galak yang pernah mengejarku sewaktu kecil hingga terkencing-kencing dan jatuh namun bila aku telah mengenalmu sebelumnya, aku akan tetap akan menolong.”

“Kalau tak kenal?”

“Pikir dua kali.” Sebastian nyengir. “Sebenarnya kau hendak ke mana? Bepergian di hari hujan seperti ini.”



Aku tak segera menjawab. Diam mengumpulkan keberanian. “Ingin pergi ke tempatmu. Untuk… meminta maaf.”

Cerita bersambung Majalah Kartini berjudul ROS karya Desi Puspitasari dimuat 9 - 23 Juni 2016 | selengkapnya sila (klik) KLIPING SASTRA. 

1 komentar:

Copyright © 2010- | Viva | Kaffee Bitte | Desi Puspitasari | Daily | Portfolio