Apakah puisi hanya melulu mengenai cinta yang mendayu-dayu? Jawabannya; enggak. Kita punya Wiji Thukul. Penyair yang dihilangkan karena kevokalannya menyuarakan ketertindasan rakyat kecil.
Kita punya Umbu Landu Paranggi, seorang "Presiden Malioboro" yang menjauhi popularitas dan sorotan publik. Dulu ia kerap menggelandang dengan membawa kantong plastik berisi naskah-naskah puisinya.
Orang-orang menyebut Umbu Landu Paranggi sebagai "pohon rindang" karena telah melahirkan begitu banyak sastrawan dan penyair. Tapi ia sendiri hanya menyebut dirinya sebagai "pupuk".
Kita memiliki Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) yang meskipun tahu agama tapi tak hendak dipanggil ustaz, kiai, pun ulama. Selain berkarya tulis pun puisi, ia lebih senang menjadi sorang "pembudaya".
Dan jika ada Gus Mus (KH Mustofa Bisri), ada pula Romo Sindhu, bahkan I Gde Prama yang tak asing dengan karya puisi. Kau kenal dengan W.S. Rendra? Ya, dia pun juga begitu vokal menyuarakan ketertidasan dan juga melawan pemerintahan Orde Baru pada masanya.
Puisi tak melulu mengenai cinta dan air mata. Namun, bila larik-lariknya membicarakan kesenduan dan rasa nestapa kehilangan, tak salah juga, kok.
Nikmatilah puisimu seolah ia seorang kawan yang hadir saat kau minum susu di pagi hari yang cerah, atau sore saat hujan turun terlalu deras dan membikin suasana menjadi begitu muram.
Selamat hari puisi sedunia. #WorldPoetryDay [dps]
0 comments:
Posting Komentar