Praktik ini (membaca cerpen) juga membuka diri bagi aktor yang hendak menghidupkan cerita dalam pelisanan, atau pelisan lain yang hendak mengeksplorasi atau mengelaborasi karya sastra dengan berbagai medium naratif di luar bahasa verbal. — Kedai Kebun Forum
Seberapa banyak sebuah cerpen dilisankan oleh penulisnya sendiri? Tidak begitu sering, barangkali, bila merujuk 'perkataan' Roland Barthes dan Sapardi Djoko Damono bahwa 'pengarang sudah mati'. Kelangkaan pembacaan cerpen dan juga yang dibacakan oleh penulisnya sendiri barangkali ingin memberi kebebasan pada para pembaca untuk mengintrepetasi dan mengimajinasi seluas-luasnya. Mereka memiliki bayangan dan gambaran sendiri mengenai bagaimana cerita berwujud di dalam pikiran.
Foto oleh #meineLiebe Maztrie |
Perihal 'penulis yang telah mati' mudah sekali ditemukan dalam bentuk-bentuk adaptasi karya. Puisi yang dilagukan (Hujan Bulan Juni--sounds so familier?), novel ke dalam film, cerpen ke pementasan teater, dan yang lain. Dramatic reading yang kita kenal dan rutin diadakan setahun sekali di Yogyakarta merupakan bentuk lain dari pembacaan naskah--meski sudah jelas yang dibacakan adalah naskah drama yang memang ditulis untuk dipanggungkan.
Malam kemarin, Kamis, 3 September 2015, aku bersama teman-teman yang lain berkesempatan membacakan cerpen tulisan sendiri di Kedai Kebun Forum. Pembacaan cerpen, terutama oleh penulisnya sendiri, merupakan sebuah upaya membangkitkan kembali penulis agar tak buru-buru mati ketika sebuah karya sudah lahir dan dilepas ke khalayak umum.
Membacakan karya sendiri memberikan kesempatan bagi penulis untuk mereka-ulang intrepretasi dan juga mengenali tulisan yang dihasilkannya sendiri. Juga memberi kesempatan bagi penulis untuk ber"re-create" atau berekreasi di dalam media baru, yakni pelisanan di atas panggung.
** cerpen CLOS E (dimuat Koran Tempo, 2012) yang aku baca malam itu bisa juga disimak di SINI.
0 comments:
Posting Komentar