Aku menyukainya terlebih dulu, namun tidak aku utarakan. Tidak berani bicara. Tidak berani menyatakan. — Pemain Biola, Majalah Femina
Halo.
Bulan September 2015 ini, cerpenku berjudul "The Wedding Violist" yang kemudian disunting menjadi "Pemain Biola" terbit di Majalah Femina. Yang membuatku suka selain cerita yang aku tulis, tentu saja, adalah ilustrasi. Setelah menjadi pembicara di acara Sastra dan Rupa FKY (Festival Kesenian Yogyakarta) 27, aku menjadi gemar memperhatikan ilustrasi tulisan-tulisanku.
Pada cerpen "Pemain Biola" dimuat di Majalah Femina edisi 36 ini, selain mirip dengan Maudy Ayunda sebagai kover majalah, ilustrasi menjadi menarik oleh tata letak biola yang menutupi sebagian wajah si perempuan.
Selamat membaca.
AKU MEMPERHATIKAN KESIBUKAN DI DEPAN. Kue pengantin bertingkat digeser dengan hati-hati dan perlahan di tengah meja tepat. Taplaknya putih berenda dengan hiasan pita-pita merah muda. Rangkaian bunga merah muda dan putih dalam vas bening diletakkan di bagian tengah di setiap meja yang ada.
Di sudut lain, seorang kepala koki dengan topi putih menjulang tinggi ke atas sibuk memberi perintah. ”Apa wadah berisi udang segar sudah datang? Sudah kau pastikan kiriman asparagusnya berkualitas baik? Tentu saja. Ya, ya. letakkan itu di sini! Letakkan ini di sana! Kau jangan mondar-mandir begitu! Ayo, ayo, cepat bawa stroberi segar di meja di sebalah sana! Kau yang di bagian makanan pembuka dan utama; sup harus dituang dalam ukuran sama, udang harus matang sempurna. Kau tidak lupa membawa persediaan madu tambahan?“
”Cokelat?“
Aku menoleh. Secangkir cokelat panas disodorkan ke arahku. Uapnya mengepul hangat. Aku melihat si pemberi. Seorang laki-laki. Cambang bekas dicukur meninggalkan jejak tipis di dagu. Rambut pendeknya dijagrik ke atas. Sepertinya ia termasuk salah satu anggota keluarga. Aku perhatikan dari jas hitam yang dikenakan. Juga kelancangan mengambil cokelat hangat, seorang tamu tentu tidak diperkenankan (lagi pula tamu pertama paling tidak akan datang sekitar sejam lagi).
”Kau datang terlalu awal,“ katanya, setelah cangkirnya aku terima.
Aroma cokelat hangat. Pagi sekali tadi hujan sempat turun deras. Sekarang pukul enam dan matahari telah bersinar cerah. Sisa dingin yang sedikit disapu cokelat hangat dengan taburan kayu manis di bagian permukaan dan... sapaan laki-laki macho di sebelah, kehangatan yang sempurna.
”Kau datang dari pihak pengantin perempuan atau pria, sahabat laki-lakiku? Maksudku, si pengantin pria di pernikahan ini adalah sahabatku. Maksudku, kamu teman dari pihak pengantin yang mana?“
Dia tertawa gugup.
Aku menggoyang cangkir supaya bagian cokelat yang sedikit mengendap kembali tercampur. Tidak terlalu keras menggoyang cangkir supaya cokelatnya tidak memercik ke gaun putih berpotongan sederhana yang kutumpuk dengan jaket kulit cokelat, risletingnya tidak kukancingkan, yang aku kenakan sekarang.
”Aku terlihat gugup, ya?“ Ia memutar dasi kupu-kupunya. ”Aku tidak tahu kenapa. Sahabat laki-lakiku yang akan menikah saja malah tenang.“
Aku membetulkan letak sandaran punggungku di tembok.
”Kau... apakah kau....?“
Aku menoleh.
”Apa kau juga gugup?“
Aku menggeleng sambil mengangkat bahu.
”Maksudku ... yah, meski ini bukan pernikahanmu atau pernikahan sahabat laki-lakimu ... apakah kamu...,” ia berhenti sejenak, mengembus napas, ”entahlah.“
Aku menatapnya heran.
”Kau sendiri saja?“
Aku kembali mengangkat bahu.
”Kau datang terlalu awal.” Ia terdiam. Lalu, mendengus malu. ”Aku sudah mengatakan itu tadi, ya?“
Aku menyeruput cokelat pelan-pelan. Kehangatannya mengalir turun. Enaaak….
”Kau…,” Laki-laki itu menahan diri dengan diam sejenak. ”Apa sebaiknya aku menceritakan ini padamu?“
Aku memiringkan kepala.
”Ini sebenarnya yang membuatku gugup,” katanya cepat. ”Aku mencintai di pengantin perempuan. Kau tahu, aku, si pengantin laki-laki dan si pengantin perempuan berteman akrab sejak di kampus. Tapi, kemudian... kau tahu....“
Aku menunggu kelanjutan ceritanya.
”Klise ini sebenarnya. Aku menyukainya terlebih dulu namun tidak aku utarakan. Tidak berani bicara. Tidak berani menyatakan. Hingga si pengantin laki-laki mengaku padaku; ia mencintai si pengantin perempuan. Aku diharapkan bisa membantunya.“
Ya, klise, sih. Semua kisah cinta yang terjadi di muka bumi tidak ada yang tidak klise; semua telah terjadi sebelumnya. Tapi, bagaimanapun tetap akan menyakitkan bagi yang merasakannya. Kesedihan yang dirasakan laki-laki ini sama menyakitkannya seperti ketika pacarku memutuskanku begitu saja. Sabtu malam saat aku sedang kosong jadwal pekerjaan, aku pikir bisa menghabiskan waktu berdua setelah berbulan-bulan lamanya tidak ketemu. Tidak tahunya malah....
”Kamu terlalu sibuk,“ kata pacarku... eh, mantan pacarku. ”Aku tidak bicara menjalani hubungan serius dengan seorang perempuan yang lebih sibuk dengan pekerjaan ketimbang kekasihnya.“
Di bulan-bulan begitu banyak acara pernikahan begini, bagaimana aku bisa menolak permintaan. Aku bisa diamuk teman-teman yang akan kerepotan bila aku tidak bisa hadir. Lagipula aku lebih sering bekerja saat akhir pekan. Biasanya dimulai saat Jumat malam dan terus berlanjut sampai Minggu yang begitu larut.
”Justru karena akhir pekan itu! Aku pekerja kantoran; bekerja dari Senin sampai Jumat. Kadang lembur setengah hari saat Sabtu. Aku berharap bisa menghabiskan Sabtu malam atau Minggu pagi hingga penghabisan hari denganmu, tapi kau malah ngelayap pergi.“
Ngelayap? Enak saja! Aku bekerja! Itu hanya alasannya saja. Kekasih yang benar-benar setia tidak akan menuntut berlebihan seperti itu.
Laki-laki macho yang gelisah di sebelahku mengembus napas. Aku menyesap kembali cokelat dalam cangkir. Sedikit pahit cokelatnya masih terasa. Ini yang aku suka.
”Boleh kuralat?“ tanya laki-laki itu.
Aku mengangguk.
”Ini pernikahan sahabat laki-laki dan sahabat perempuanku. Tidak enak sekali. Tidak enak sekaligus terharu. Sahabat macam apa yang tidak ikut bahagia bila sahabatnya menikah dan hidup bahagia, dengan perempuan yang dicintainya?“ Ia beretorika dengan pahit.
Yaa, seperti kata pacarku, eh, mantan pacarku. ”Aku mencintaimu. Aku ingin hubungan ini berjalan lancar hingga kita menikah.” Hingga seminggu kemarin. Aku dipanggil menggantikan salah satu pianis kami yang tiba-tiba sakit perut. Padahal waktu itu aku memiliki jatah libur dan akan memanfaatkan waktu longgar dengan menemani pacarku datang ke pesta ulang tahun neneknya. Jumat sore pukul lima dan telepon mendadak. Aku langsung melesat pergi tanpa meninggalkan pesan. Sabtu pukul satu dini hari teleponku memuat lima belas pesan suara darinya dengan nada kesal, jengkel, hingga marah. Sabtu malam aku ingin bertemu dan menjelaskan bahwa aku benar-benar lupa waktu itu. Tapi, di tengah perjalanan, aku yang berjalan cepat terpaksa berhenti. Mundur kembali. Berdiri di trotoar di depan jendela kaca sebuah restoran. Menonton ke bagian dalam seperti gadis miskin penjual korek api.
Pacar -mantan pacar--ku sedang makan malam berdua dengan seorang perempuan yang terakhir kulihat hadir di pesta perkawinan anak perempuan keluarga Jaki Wiliam. Aku membatalkan kunjungan, tidak berniat melabrak, dan memutuskan kembali pulang. Minggu dini hari pukul satu, teleponku menyala dan suaranya tertinggal di kotak pesan. Mantan pacarku bicara panjang lebar; ia sudah terlalu bersabar, aku tidak peka dan perhatian, dan masih banyak lagi. Intinya; kita putus.
Dini harinya, aku bangun dengan bantal basah dan mata sembab. Buru-buru aku mengompres mata dengan es sambil merapal mantra penguat dalam hati; ’Mantan pacarku seorang kerdil. Setelah ini aku akan mencari laki-laki berjiwa besar, yang tidak memutuskan hubungan dengan dalih kesibukan si pasangan.’
”Sebuah buku mengatakan, aku lupa kutipan dari siapa, tidak ada yang lebih tahu arti persahabatan kecuali laki-laki.” Laki-laki di sebelahku kembali bersuara. ”Biarkan sahabat laki-lakiku menikah dengan perempuan yang dicintainya—perempuan yang aku cintai juga,“ katanya dengan merendahkan suara. Kali ini ada nada legawa dalam cara bicaranya. Ia bahkan tersenyum sedikit. ”Mari berharap hari ini cepat berlalu. Aku akan pulang. Mabuk sedikit. Dan, keesokan hari semua kembali normal.“
Ya, tentu saja. Aku menoleh. Pundakku disentuh. Laki-laki itu segera menarik tangannya. ”Maaf. Tapi, kau … aku hanya ingin tahu. Kenapa dari tadi kau diam saja?“ Ia berdeham. ”Maaf. Kau ... tuna wicara?“
Aku diam saja sambil memasang tampang serius. Lalu, menyerahkan cangkir cokelat kosong padanya. Lalu, mengangkat bahu.
Laki-laki itu terlihat bingung bagaimana hendak menanggapi.
”Kalian berdua sudah saling kenal?” Sebuah suara melengking memecah suasana canggung. Teman pianisku dalam gaun putih berpotongan sederhana yang sama datang sambil berkacak pinggang.
”Kau kenal dia?” tanya laki-laki di sebelahku.
”Tentu saja!” serunya heran. ”Ia si pemain biola! Yang aku ceritakan padamu! Yang akan aku jodohkan denganmu, kenalkan denganmu maksudku,” ralatnya cepat-cepat. ”Kau lajang. Ia lajang. Apa salahnya?”
Aku mengerutkan kening ke arah temanku. ”Ia bersuara bagus. Kau pasti suka saat mendengarnya bernyanyi. Seperti paduan antara Sharon dan Andrea The Corrs,” cerocosnya tanpa memerdulikan keberatanku.
”Pemain biola sekaligus penyanyi?” Laki-laki itu bingung. ”Jadi, kau ...? Tapi, tadi kau ... tuna…?“
”Aku hanya mengangkat bahu dan tidak mengatakan ya.“ Akhirnya aku bersuara dan mengedipkan sebelah mata sambil membetulkan letak tali tas viola dari kulit cokelat yang dihias deretan kancing besar seperti kancing celana jin, dan emblem logo band rock yang dijahit. Aku pergi menyusul teman perempuanku menuju deretan kursi putih dengan sebuah standing microphone tepat di bagian tengah.
”Kenapa?” tanya temanku saat melihatku berhenti.
”Lupa sesuatu. Kau duluan saja.“
Aku berlari kembali ke arah si laki-laki macho dengan cangkir cokelat di tangan. Ia sebenarnya sudah hendak pergi. Karena melihatku jadinya urung.
”Aku lupa bilang terima kasih,“ kataku dengan napas setengah terengah, ”untuk cokelat panasnya.“
Laki-laki itu balas tidak bersuara dan mengangkat bahu. Lalu, tertawa.
”Oh, ya.“ Aku mengulurkan selembar selebaran. ”Ini tentang persewaan jasa musik pengiring pernikahan. Ya, aku dengan biola di foto itu. Di bagian bawah ada dua nomor kontak yang bisa dihubungi.“
Laki-laki itu menerima selebaran. Ia tidak melihat arah yang kutunjuk. Tapi, menatapku dalam-dalam. Matanya tersenyum. Menungguku mengatakan kalimat selanjutnya.
”Salah satunya nomorku. Kalau sudah selesai mabuk dan bisa kembali berpikir waras, kau bisa mencoba menelepon. Kita harus menghargai usaha teman pianis kita, bukan?“ Aku berpaling pura-pura cemas. “Oh, aku harus pergi sekarang. Sekali lagi terima kasih untuk cokelatnya.“
Aku berjalan mundur sambil tersenyum. Tatapan kami terus bertaut. Lekat tidak mau lepas. Setelah hampir tergelincir jatuh karena meleng, baru aku melambaikan tangan dan berbalik. Berlari dengan arah hadap yang benar. []
Ceritanya seperti segelas coklat hangat :) suka sekali
BalasHapuscerita klasik tapi dikemas dengan apik dan ringan... I like it.
BalasHapusbagus banget... ceritanya semanis coklat :)
BalasHapusCeritanya romantiiiss.love it :)
BalasHapusTerima kasih, Teman-teman. 🤗😚
BalasHapuskerenn
BalasHapus