Minggu, 30 Agustus 2015

Berbincang SARU - SAstra dan RUpa FKY 27

Seberapa jauh sastra dan rupa bersinggungan? Sepertinya sudah lumayan jauh, apabila menilik catatan atau esai "Cerita yang Menyerap Rupa" dari Agus Noor, yang mengatakan bahwa kesinambungan antara sastra dan rupa sudah dimulai Kompas medio 2002. Dalam cerpen koran Kompas (dan akhirnya cerpen-cerpen koran hari ini) bisa diperhatikan akan selalu ada ilustrasi cerpen. 

Cerpenis itu membandingkan bagaimana antar dua jenis kesenian tersebut saling menanggapi dengan melakukan pembacaan terbalik. Apabila biasanya ia membaca cerpen terlebih dulu baru kemudian melihat ilustrasi, kali ini ia memerhatikan ilustrasi baru kemudian membaca cerpen. Temuannya mengatakan bahwa cerpen dari para penulis tak sepenuhya luwes dan miskin dimensi dalam 'mengadaptasi' karya ilustrasi cerpennya.


Jumat, 28 Agustus 2015, aku bersama seorang dosen ISI mas Andre Tanama, berkesempatan menjadi pembicara di panggung workshop FKY (Festival Kesenian Yogyakarta) 27. Perbincangan itu menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru mengenai sastra dan khususnya yang ada hubungannya dengan rupa. 

Memang sebaiknya demikian, bukan? Pertemuan dengan orang baru sebaiknya melahirkan dan menghasilkan pengetahuan baru, berbagi ilmu, dan bukan saling menyindir dan nyinyir tanpa juntrungan. Ketika diri ini bermanfaat bagi orang lain, pun sebaliknya, betapa tidak seni sastra dan rupa dan segala macam jenis seni lain di Indonesia bisa berkembang pesat? Jadilah pribadi yang haus ilmu, bukan gosip terlebih mencela orang lain yang kalian kenal dan ketahui latar belakangnya pun tidak? Bertukar ilmu itu jauh lebih menyenangkan dalam berproses kreatif, percaya deh. 

Pengalamanku sebagai penulis dengan beberapa cerpen dimuat di koran nasional dan juga majalah seperti Bobo dan Femina, sekaligus novelis yang kover buku tentu tak jauh-jauh dengan perwajahan buku:

Sebagai cerpenis. 

Sejauh ini ilustrasi cerpen-cerpenku (bisa dibaca dan diperhatikan ilustrasinya di SINI) hadir sebagai penguat cerita; menampilkan tokoh atau karakter utama, konflik paling tajam, pun latar cerita. Ilustrasi berdiri sendiri dan sama sekali 'melenceng' jauh dari cerita? Sepertinya belum ada. 

Sebagai penulis, aku dan juga teman-teman penulis, biasanya dihubungi hanya untuk konfirmasi cerpen yang hendak dimuat, bukan dimintai pertimbangan bagaimana sebaiknya ilustrasi cerpen ditampilkan. 

Tentu akan menjadi lebih menarik ketika aku mencoba membaca terbalik seperti yang dilakukan oleh Agus Noor. Bagaimana aku menanggapi ilustrasi-ilustrasi tersebut untuk menghasilkan karya baru. Baik, aku akan mencobanya. 

Sebagai novelis.

Beberapa penerbit bahkan mencantumkan pasal peraturan yang menyatakan bahwa segala jenis dan bagaimana bentuk perwajahan novel sepenuhnya diatur oleh penerbit. Penulis tak bisa sedikit pun mengajukan usul dan masukan. Sehingga sesungguhnya, perwajahan novel yang menor, tidak sesuai isi, dan hal lainnya penulis tak ikut urun sedikit pun di sana.

Sebagai perupa, mas Andre mengatakan juga pernah melakukan perwajahan untuk novel. Hal ini dilakukan dengan dua cara; banal (menggambarkan persis isi novel) atau berbeda sama sekali. 

Mengenai apakah seorang sastrawan (penulis) bisa juga menjadi perupa dan juga sebaliknya, kita sedang bicara mengenai kencederungan di sini. Bisa saja, tapi setiap pribadi seniman pasti memiliki sisi condong terhadap ilmu yang sedang ditekuni. Bisa jadi ia mumpuni dalam menulis, merupa pun juga--meski itu tidak sedalam ilmu menulisnya. Pun begitu sebaliknya. 

Apabila ditilik pada pola atau kebiasaan di masa lampau, ketika seniman bisa melakukan apa saja, lebih karena kultur bersama yang kuat. Ingat atau tahu mengenai seniman Malioboro? Pimpinan Umbu Landu Paranggi dengan anggota yang sekarang sudah menjadi senior dalam hal seni. Mereka bisa menguasai segala aliran seni karena terbuka dan sudi saling belajar. 

Sementara anak muda sekarang, yang terkekang tali tak terlihat bernama gawai, kesukaannya nyinyir tanpa juntrungan, dan tak melihat celah keilmuan yang bisa dipelajari untuk mengembangkan diri, tentu akan semakin sempit dan tak menguasai berbagai macam ilmu. Okelah, hal ini bisa dimaklumi untuk mereka yang bukan seorang seniman atau kreator atau hanya penikmat. Tidak apa-apa.

Tantangan sebenarnya datang bagi seorang kreator. Kemajuan teknologi akankah mengekang atau malah mengembangkan keilmuan seseorang menjadi lebih luas lagi?


** SARU adalah singkatan yang dilontarkan oleh mas Andre Tanama; apakah sastra dan rupa sebaiknya dipersatukan? SARU di sini bisa diartikan secara literer atau suka-suka. 






0 comments:

Posting Komentar

Copyright © 2010- | Viva | Kaffee Bitte | Desi Puspitasari | Daily | Portfolio