Minggu, 09 April 2017

DIMUAT Cerpen Duwet Minggu Pagi 9 April 2017

Duwet termasuk cemilan kesukaan sewaktu aku SMP, itu artinya sekitar tahun 1996 - 1999. Biasanya aku membeli sebungkus, bungkusan menggunakan kertas buram, seharga seribu (kalau tidak salah ingat), lalu sedikit ditaburi gula dan makan bersama teman-teman sambil berdiri.

Duwet berbentuk seperti buah anggur, tapi ia lebih lonjong, warna ungu kulitnya lebih pekat. Rasanya sepat, manis, kecut, dan asin--kan, tadi ditaburi sedikit garam. Sebenarnya ini buah enggak enak-enak banget kalau dibandingin dengan buah anggur atau stroberi misalnya. Tapi, di lidahku waktu itu buah ini nikmaat.

Dan, sekarang ngangeni.

Cerpen Duwet yang dimuat di Minggu Pagi ini ada cerita di balik mendapat idenya. Aku enggak akan ceritakan, tapi semoga ceritanya bisa... yah, bisa meninggalkan 'sesuatu' bagi teman-teman pembaca. 😊

Sila dibaca di koran Minggu Pagi, minggu I April 2017. Bila kehabisan atau tak bisa mendapatkannya, selang beberapa hari lagi (mungkin hari Selasa atau Rabu), cerpen ini akan diarsip di KLIPING SASTRA.

Berikut aku cantumkan beberapa bab awal. Selamat membaca, Teman-teman....


DUWET

MBAH Marto segera bangkit ketika mendengar Reni mengidam duwet. Pujek yang duduk tidak jauh dari Mbah Marto kembali membaca keras-keras WhatsApp dari Bowo.

“Jek, Reni mengidam buah duwet. Sebelum kau ke sini, bila sempat tolong cari dan bawakan sedikit saja.”

 “Reni dan suaminya sedang di Yogyakarta?” tanya Ahmad.

 “Ada urusan apa?”

 “Bowo masuk Sardjito, Mad. Di Brebes tidak ada rumah sakit mumpuni, sehingga mereka berobat untuk mengatasi radang saluran pernapasan di sini.” jawab Pujek. “Barusan saja aku dikabari Lik Gimin, orang-orang akan menjenguk ke rumah sakit.”

“Lalu, duwet itu?”

 “Aku mengabari Bowo lewat WA, aku akan turut menjenguk bersama orang-orang. Ia lalu berpesan, bila sempat tolong carikan duwet karena istrinya mengidam.”

 “Ngomong-ngomong, ke mana kau akan mencari buah duwet?“ tanya Ahmad.

 ”Tanaman langka, tentu akan sulit mendapatkannya.“

“Aku juga tidak tahu.” Pujek bangkit dari lincak, menyambar helm dan segera menyalakan motor. 

“Kau ikut aku, Mad. Kita cari di pasar atau di ladang milik tetangga. Siapa tahu masih ada yang punya dan sedang berbuah.“

“Lagian aneh, biasanya orang sakit dibawakan buah tangan jeruk atau apel. Baru kali ini ada orang ke rumah sakit dengan membawa duwet,” kata Ahmad yang segera menyusul dan turut membonceng Pujek.

Mendengar percakapan antara dua pemuda itu, Mbah Marto teringat lagi tujuannya. Laki-laki tua itu segera menuntun sepeda keluar dari halaman rumah. Begitu sampai di jalan, dikendarainya perlahan. Dikayuh dengan tenaga seadanya. Bagi orang tua sepertinya, tak usah mengebut dalam berkendara. Tenang-tenang saja yang penting sampai tempat tujuan. Alon-alon asal kelakon.

Seperti halnya guyonan Sprite Jawa untuk sebutan air putih, maka buah duwet juga kerap disebut sebagai anggur jawa. Buah bulat setengah lonjong tersebut memang memiliki warna kulit seperti anggur. Reni kecil sangat menyukainya. Bocah perempuan itu kerap merengek minta dicarikan ketika bertandang ke desa saat liburan sekolah.

 “Mbah, Reni mau duwet!”


Selengkapnya baca di KLIPING SASTRA. 😊
Copyright © 2010- | Viva | Kaffee Bitte | Desi Puspitasari | Daily | Portfolio