Rabu, 04 Januari 2017

Si Miskin Juara Kelas

Pernah enggak kamu mendengar atau membaca kisah seperti ini--atau mungkin mengalaminya sendiri:

Seorang anak datang dari keluarga miskin. Ia bangun pagi hari sekali. Membantu Ibu merapikan rumah dan membantu adik-adiknya bersiap sekolah. Ia tak sarapan. Di kelas mencoba memperhatikan pelajaran meski sedikit mengantuk. Pulang sekolah bekerja di dua tempat berbeda. Sebelum ke rumah masih sempat main bola dengan teman-teman. Tiba di rumah makan malam dengan nasi porsi sedikit dan lauk sekadarnya. Terkadang masih harus dibagi dengan adik-adiknya. SPP sekolah menunggak. Dan cerita serba kekurangan lainnya.

Tapi yang membikin aneh; si bocah ini kerap menjadi juara kelas. Bahkan rangking 1 tingkat sekolahan/nasional.

Kok bisa, ya?

Aku sedang tidak membicarakan kekuatan doa Ibu atau yang seperti itu. Tapi ingin membahas dari sisi lain. 

Mengapa bisa juara kelas? Bisa jadi si bocah tidur terlambat dan bangun pagi terlalu dini... hanya untuk belajar. Pukul 21.00 ketika teman-teman sekelas yang lain sudah berangkat tidur, ia baru berkesempatan membuka buku, mengerjakan PR. 

Pukul 01.00 saat teman-teman yang lain masih pulas, si bocah terbangun karena kelaparan. Tak ada yang bisa dimakan, akhirnya ia memutuskan belajar hingga kantuk datang lagi. Pagi hari ia cepat terbangun. Belajar sebentar sebelum memulai aktifitasnya kembali.

Tekad kuat menjadi terbaik itu penting. Keadaan sempit seharusnya tak menjadi pembatas. Sehingga wajar aja kan kalau si Bocah kemudian bisa menyabet juara kelas meski kesibukan non akademisnya seabrek. 

Lalu, kita salut pada si bocah.

Nah, di dunia kepenulisan, kenapa kita tak bisa salut pada mereka yang produktif? 

Di zaman maju tehnolohi seperti sekarang ini, menulis tak harus melulu di tempat sepi, di desa, dan tak bisa ke mana-mana. Okelah, aku pun lebih memilih menulis di kamar yang nyaman dan bukan tempat asing. Tapi, bila harus ke luar kota pekerjaan menulis masih bisa aku selesaikan.

Nah, bila memang ada penulis produktif (boleh, deh, bila hendak dicela kualitas tulisannya buruk, dll), mengapa kita tidak 'meniru' semangatnya untuk rajin berkarya?

Sumber gambar: pixabay
Bisa jadi ia tak punya uang sehingga harus terus menerus menulis untuk mendapatkan uang. Hei, menulis untuk uang itu bukan pekerjaan haram. Ada seorang single parent yang harus berjuang mati-matian menghidupi dua anaknya dari pekerjaan menulis--dan kamu masih tega mencelanya sebagai penulis mata duitan--yang hanya memburu uang? Pram saja pernah diejek karena menulis kayak berak. Tapi toh Pram tetap menulis. Dan bagaimana hasilnya sekarang? Apakah Pram tenggelam dan namanya hilang begitu saja hanya karena ia produktif? 🙂

Penulis produktif baik penuh waktu maupun 'freelance', boleh kita apreasiasi semangatnya. Cara yang ditempuh bisa bermacam-macam. Namun yang pasti manajemen waktunya mengesankan. 

Bisa jadi ia bekerja di pagi sampai sore hari, sibuk dengan rutinitas rumah tangga, atau malah kesehariannya diisi dengan melulu menulis. Tapi, mestinya ia juga kerap lembur, tidur terlambat dan bangun lebih cepat. Kerja keras (atau kerja cerdas --whatever) itu kurang lebih hampir sama kan dengan si bocah miskin yang juara kelas?

Menjadi penulis bukan berarti bisa seenaknya sendiri dalam bekerja. Mengatur waktu sangat penting; kapan 'babak-belur', kapan berlibur. Manajemen waktu yang tepat dan dipatuhi dengan baik menjadi salah satu cara yang bisa mendorong kita untuk produktif. 

Jadi, menjadi penulis produktif? Kenapa enggak?

Dicemooh karena terlalu banyak punya buku? Dibawa ketawa saja, mereka enggak tahu seberapa 'babak-belur' kamu berusaha. Dan, mereka enggak perlu tahu sih. Kecuali kamu youtuber yang terlalu drama. #eh 😅


Copyright © 2010- | Viva | Kaffee Bitte | Desi Puspitasari | Daily | Portfolio