Kamis, 18 Februari 2016

Translated Short Story: Mrs. Wagu's Great Day

Pernah di usia dewasa, untuk kepentingan sebuah riset atas sebuah pendidikan yang sedang aku tempuh, aku mengikuti misa di gereja Katolik Kotabaru. Saat itu, tentu saja, aku mencopot jilbab dan menggeraikan rambut. Mengenakan pakaian terbaik dan sepatu. 

Mulanya tak ada yang 'istimewa', semasa SD aku rutin ke gereja. Sekolah kami, SDK ST Bernardus, pada setiap hari Kamis di minggu tertentu (aku sudah lupa), mewajibkan anak didiknya mengikuti misa pagi di gereja. Sesuatu yang lain itu hadir saat waktu menunjukkan waktu masuk sembahyang maghrib.

Di dalam gedung yang megah, dengan patung salib Yesus di bagian depan, aku duduk mengikuti misa dengan telinga yang lamat-lamat mendengar azan maghrib dikumandangkan dari kejauhan. Indah, sangat indah. Azan sore itu terdengar lebih syahdu, lebih merasuk kalbu, dan lebih menggetarkan saat ia terasa begitu jauh, begitu minor. Aku ingin segera pulang, dan menjalankan ibadah salat maghrib. 

Menjadi atau berada di sebuah kelompok besar terkadang membuat kita (saya, Anda, dan kamu) merasa memiliki super prower, daya berlebih, dan kekuasaan yang (sepertinya) bila digunakan semena-mena. Terhadap kaum lemah, kaum minor, pun seseorang yang tak punya kuasa, apapun bisa dilakukan kepadanya.

Begitu juga pengalamanku waktu aku. Saat aku berada di dalam 'kelompok' mendengar azan maghrib adalah sebuah rutinitas yang tak lagi istimewa. Toh, dalam sehari azan yang sama (untuk kepentingan salat yang berbeda) dikumandangkan lima kali. Namun saat aku berada di tempat 'berbeda' dan menjadi seorang diri di tengah kerumunan yang besar (aku datang berdua dengan teman sesama muslim, namun kami tetap bisa dikatakan sebagai kelompok minor, bukan?), azan itu menjadi lebih spesial, terdengar menjadi lebih indah. 

Sebenarnya aku punya keinginan menulis cerita pendek 'berseri', berangkat dari satu persatu tetanggaku di rumah Madiun. Satu keluarga itu akan aku tuliskan satu cerita pendek mengenai mereka. Aku sudah memulai dengan dua cerpen, masing-masing hanya menggunakan inisial nama berupa huruf depan. 

Saat aku ajukan cerpen Hari Raya Bu W, editor meminta untuk menyebutkan namanya saja. Untuk apa diberi inisial-inisial tanpa menyertakan alasan kuat yang mendukung cerita. Betul juga, ya. Baiklah, maka aku bubuhkan nama sehingga judul menjadi Hari Raya Bu Wagu. 

Cerita ini sendiri mengenai seorang perempuan tua, tinggal bersama keempat ekor anjingnya. Hidup di lingkungan masyarakat yang mayoritas memeluk agama Islam sedikit 'menyulitkannya' meski ia tak menganggapnya sebagai masalah; seperti saat ia harus mendengarkan azan yang dikumandangkan keras-keras di atas menara masjid, belum lagi saat bulan puasa--keriuhan kumandang azan dan ayat-ayat Quran yang dibaca seakan tak pernah berhenti namun malah bertambah.

Semua itu menjadi masalah ketika kehadiran anjing-anjing peliharaan Bu Wagu tak diterima dengan baik oleh para warga. Oleh mereka, hewan peliharaan tersebut dibatasi gerak lakunya; sebagai binatang dengan air liur yang najis, maka 'haram' hukumnya bagi anjing itu untuk berkeliaran di jalan raya depan rumah.

Konflik demi konflik tersaji, hingga akhirnya Bu Wagu bisa menikmati hari raya Eid-Fitr dalam keheningan yang agung. Bagiamana cerita selengkapnya?

Cerpen Desi Puspitasari yang berhasil diterjemahkan dengan apik oleh Andy Fuller ini bisa disimak pada situs Intersastra dan telah didokumentasikan pada situs id.klipingsastra.com


Ilustrasi Cerpen Mrs. Wagu Great Day oleh Desi Puspitasari
diterjemahkan oleh Andy Fuller - Intersastra

It wasn’t that Mrs. Wagu hated the five calls to prayer. There was nothing wrong with calling people to carry out their religious obligations. There was nothing wrong with the freedom to hold and carry out a religion. It was just that... just that..

When Mr. Wagu was still alive, they would be asked by their Christian friends to hold religious services once a year. They would recite prayers and sing a couple of hymns. These were solemn and moving moments to them. But not for the neighbours. 

During their services, the neighbours would walk past the front of the house, coughing loudly. Some would grumble, "This singing is really disturbing our peace."  There would also be children out, noisily playing war or chasing each other on bicycles. When the service was over, the congregation would be greeted with vicious stares from the neighbours.

“They’re allowed to create so much noise by using a loudspeaker stuck on top of the mosque, why aren't we occasionally allowed to hold our services?'' muttered Mrs. Wagu.

"It doesn't matter,“ Mr. Wagu would say. "They're just threats. What is important is that we've held our service and everything went okay and finished fine.'

Eid was beautifully calm. Mrs. Wagu felt a deep peace. Because of the silence, she was able to appreciate the holy day of another religion. A day without the noisy call to prayer, without the whispers of her neighbours and without suspicious looks. Without any problems.

Mrs. Wagu felt like God was showering her with attention. She felt that God had blessed her, and blessed her pets who were now whimpering softly.

She turned to them and said, “This is a truly glorious day."

Copyright © 2010- | Viva | Kaffee Bitte | Desi Puspitasari | Daily | Portfolio