Oleh: Desi Puspitasari
Aku ingin pergi ke New York. Berjalan-jalan di Central Park saat musim panas. Menjumpai seorang pemusik yang memainkan satu nomor lagu yang aku tidak tahu judulnya. Nada naik. Nada turun. Saksofon berputar di udara. Tiga helai daun kuning hingga yang cokelat melayang jatuh. Dari arah selatan, aku dalam pakaian yang tidak kalah lusuh berjalan mendekat. Tepat di depan si pemusik, aku akan melempar tiga koin receh ke dalam kotak wadah saksofon. Lalu, aku akan berhenti sebentar. Berdiri di sebelah pejalan kaki yang lain. Ikut berdendang samar.
Ilustrasi cerpen Di Tikungan Jalan - Desi Puspitasari, Suara Karya Minggu, 20 September 2015 |
Atau Postsdamer Platz. Berlin saat acara festival tahunan. Untuk kepentingan acara panitia telah mendirikan panggung terbuka di bagian tengah jalan. Dengan sekaleng bir aku berdiri tidak jauh dari panggung. Menyaksikan para penyair terkenal dunia membaca puisi.
Atau Rooterdam. Atau di mana saja.
Aku butuh berpergian.
Tapi, keadaanku sekarang sedang tidak begitu baik untuk jauh bepergian. Tidak cukup banyak uang. Tidak punya teman. Setelah berpisah dengan pacarku, aku memutuskan mengepak barang untuk tinggal sementara di kota lain. Yang lebih kecil dan lebih menenangkan dibanding Jakarta. Orang-orang menyebut Bandung sebagai Paris van Java. Jadi, bila belum bisa betulan ke Perancis, aku bisa menyicil terlebih dulu pergi ke Bandung. Tapi, tidak. Mantan kekasihku telah dulu pindah ke sana... bersama suaminya.
Aku memilih Yogyakarta. Berbekal informasi dari teman, aku menyewa sebuah kamar kecil murah di kos khusus karyawan. Di belakang pusat perbelanjaan besar di jalan Solo. Situasi ramai penuh obrolan dan candaan atau makian saat antri kamar mandi hanya terjadi saat pagi. Selebihnya tenang. Pada saat malam mereka biasanya akan langsung beristirahat. Terlalu lelah bekerja. Aku jadi memiliki banyak waktu sepi tanpa hal-hal mengganggu; suara berisik atau kunjungan tetangga kamar.
Aku tidak suka. Rasa sepi itu menyiksa. Jadi, aku suka menghabiskan hari dengan menelusur kota tanpa tujuan pasti. Kadang berjalan kaki. Kadang naik bus. Turun di sembarang selter. Tersesat di tempat-tempat yang tidak aku kenal. Banyak yang bisa kulihat. Aku menikmatinya lambat-lambat. Karena memang seperti itulah, bukan, ciri khas Yogyakarta? Segalanya berjalan lebih pelan.
Hingga di suatu hari ke sekian, saat menjelang tengah hari, aku duduk beristirahat di bangku semen, di sebuah trotoar di pertigaan jalan yang bila berjalan terus ke arah timur aku akan menemukan stasiun kereta Lempuyangan. Di sebelahku berjajar tenda temporal tempat servis helm dan menjual perlengkapan berkendara motor. Semua berjalan seperti biasa, seperti hiruk-pikuk kendaraan yang melintas-lintas dan obrolan samar di sekitar, hingga lonceng gereja berdentang dua belas kali. Tepat ketika dentang terakhir masih menyisakan dengung, aku mendengar sebuah teriakan lantang.
”Kau! Tidak! Kau tidak akan pernah bis mencuri jiwa! Jiwa muni dalam tubuh suci! Jiwaku! Takkan pernah mampu dicuri!"
Seorang laki-laki dengan penampilan kumuh dalam pakaian lusuh mencangkung di bawah pohon. Terlihat seperti pengemis, namun ia bukan pengemis. Tidak membawa mangkuk dan tangannya tidak menadah ke atas. Malah diletakkan tertib di atas dengkul. Rambutnya pendek gimbal. Beberapa daun kering terperangkap di sela-selanya. Giginya cokelat. Matanya nyalang. Sepertinya kurang waras.
"Revolusi! Negara butuh revolusi! Butuh pemberani untuk ini! Tidak pengecut, tidak pengekor, tidak! Sampah!"
Cara laki-laki itu berteriak seperti sedang bersajak. Tertata tegas. Penuh penghayatan. Ini menarik. Namun, orang-orang di sekitarnya tampak acuh dan tidak peduli. Hanya ada satu atau dua orang. Tukang becak dan penunggu kios rokok di pojokan jalan. Yang lain mungkin telah terlalu biasa melihat dan mendengarkan. Aku ingin tetap tinggal lama tapi kemudian hari hujan. Aku terpaksa berlari mencari tempat berteduh. Di sebuah warung, setelah menandaskan sepiring makan siang dan segelas teh hangat, aku menyulut rokok sambil berpikir. Esok aku akan kembali lagi ke sini.
Keesokan hari saat pukul dua belas lebih sedikit, dengan bus Kopata oranye, aku tiba di tempat yang sama. Laki-laki itu sudah berada di tempat yang sama. Jongkok di trotoar di sebuah pertigaan jalan di seberang gereja. Rambut masih sama gimbalnya, tubuh masih sama kurusnya, mata masih sama nyalangnya. Suara masih sama lantang dan beraninya. Aku duduk dan mengamati. Kuanggap ini sebagai sebuah pertunjukan.
Tidak pernah mengira aku akan mendapatkan kegembiraan dari menonton seorang gila di tikungan jalan. Setelah membeli ecer dua batang rokok, aku duduk di dingklik milik kios. Si ibu penjual mengaku tidak tahu, datang dari mana laki-laki itu. Ia hanya mendengar beberapa cerita simpang-siur; laki-laki itu tinggal tidak jauh dari stasiun, jalan Tukangan atau apa, korban PHK besar-besaran (tapi ada juga yang bilang ia hanya pemulung), istrinya minggat, anaknya dibawa turut, lalu keluarganya tidak ada yang peduli, dan lain sebagainya.
”Ya, itu, Mas. Pekerjaannya cuma begitu. Teriak-teriak tidak jelas.“
”Pulangnya kapan, Bu?“
”Tidak tahu, Mas.“ Ibu kios rokok berpaling. ”Pak’e! Orang itu kapan pulangnya?”
”Ra reti!”
Aku menyulut rokok (yang satu kusimpan dalam kantong jaket) dengan korek gas pinjaman.
Ini bukan Berlin. Atau Rotterdam. Atau Perancis. Atau New York. Hanya sebuah pertigaan jalan dengan sebatang besar pohon dengan ranting dahan yang menggugurkan daun. Kuning, oranye menjelang cokelat. Berserakan di jalan. Ini juga bukan trotoar jalan dengan deretan kafe atau bangunan khas Eropa yang kuidam-idamkan. Hanya seorang gila di sebuah sudut tikungan jalan. Laki-laki yang masih bersajak seperti biasa. Motor dan bus yang masih berlalu-lalang seperti hari sebelumnya.
"Di masyarakat maling, kehormatan cuma gincu! Sitti, kini aku makin ngerti keadaanmu! Tak 'kan lagi aku membujukmu untuk nikah padaku! Dan lari dari lelaki yang miaramu!"
Aku seperti mengetahui sajak itu.
Suami ibu pemilik kios rokok membalik koran ke halaman berikutnya.
"Sitti! Janganlah tangguh-tangguh menipu lelakimu! Kurahlah hartanya supaya hidupmu nanti sentosa! Sebagai kepala jawatan lelakimu normal suka disogok dan suka korupsi! Bila ia ganti kau tipu, itu jamaknya! Maling menipu maling itu biasa! Di masyarakat maling, kehormatan cuma gincu!"
Suami pemilik kios rokok kembali membalik halaman koran sambil bergumam. ”Bersambung ke halaman sebelas. Mana sebelas? Mana halaman sebelas?” Lalu, matanya bergerak dari atas ke bawah. Menelusuri kolom mencari kelanjutan berita.
"Yang utama kelicinan! Nomor dua keberanian! Nomor tiga keuletan! Nomor empat ketegasan, biarpun dalam berdusta! Inilah ilmu hidup masyarakat maling!"
Ujung jariku menjentik abu kepala rokok.
"Untuk anakmu nanti, ajarlah berkelahi! Jangan boleh ragu-ragu memukul dari belakang! Jangan boleh menilai orang dari watak! Sebab hanya ada dua nilai: kawan atau lawan! Kawan bisa baik sementara, sedang lawan selamanya jahat nilainya! Ia harus diganyang sampai sirna! Inilah hakikat ilmu selamat!"
Aku mengendus-endus kecil. Aroma wangi parfum yang halus mengelus hidung. Seorang perempuan datang membeli sesuatu. Suaranya merdu. Aku ingin melihat wajahnya, tapi sebentar nanti dulu. Sedang tanggung.
"Sitti! Bila ia nanti fasil merayu seperti kamu! Dan wataknya licik seperti saya--nah! Ini kombinasi sempurna! Artinya ia berbakat masuk politik! Siapa tahu ia bakal jadi anggota parlemen! Atau bahkan jadi menteri! Paling tidak hidupnya bakal sukses di Jakarta!"
Salut untuk laki-laki itu. Tenggorokannya tidak menjadi serak. Atau pita suaranya rusak karena berteriak-teriak. Tubuh kurusnya juga tidak menunjukkan sebuah kelemahan fisik. Malah sebaliknya. Aku menyulut batang rokok kedua.
"Sitti!"
”Apa orang itu gila?”
Aku menoleh. Perempuan itu sedang menatap ke seberang jalan. Laki-laki itu masih terus bersajak. Entah kali ini puisi milik siapa.
”Pesan Pencopet Kepada Pacarnya,“ kataku. ”Rendra.”
Tatapan perempuan itu beralih padaku.
”Sajak sebelum ini. Dengan banyak penyesuaian. Sesuai kemampuan ingatan. Ingatannya.“ Aku menyempatkan diri mengisap rokok dan mengembuskan asap sebelum melanjutkan. ”Sajak sebelum ini. Sitti! Sitti!“
Perempuan itu ber-”oh“ pendek. Kerut tidak mengerti di wajahnya berangsur pulih.
”Dari buku Sajak-Sajak Sepatu Tua. Rendra. 1972.“
”Dari mana ia bisa tahu dan hapal puisi itu?“
”Saya tidak tahu.“
”Memangnya benar ia gila?“ Perempuan itu mengulang pertanyaan yang sama. Ia menerima sebungkus rokok mentol dan receh kembalian. Tanpa ragu, kemudian ia duduk di sebelahku. Kakinya disilangkan. Sepatunya kets, tanpa kaus kaki. Bagian bawah rok selututnya tersibak kecil tertiup angin.
”Itu yang juga menjadi pertanyaan saya.”
Perempuan itu menyalakan rokok. Refleks aku menyorongkan telapak tangan. Menutup. Memberi perlindungan supaya api korek gas tidak mati terembus semilir angin. Perempuan itu melirik tanpa mengubah sikap.
“Mas penulis?” tanyanya setelah mengembuskan asap pertama. Bibirnya polos tanpa lipstik. Lengkung dan sudut-sudutnya bagus. Saat tersenyum, tampak gingsul menarik menyembul di sebelah kanan. “Atau malah penyair?”
”Kenapa bertanya seperti demikian?”
”Hanya penulis kesepian yang akan mengamat-amati seorang gila di pinggir jalan. Setelah ini Mas akan pulang. Dan, menuliskannya menjadi satu cerita pendek mungkin? Atau malah puisi?”
“Boleh juga.” Aku tertawa.
”Sajak dari Rendra, eh?“ Perempuan itu bersuara lagi. ”Hebat sekali. Aku jadi penasaran siapa sebenarnya laki-laki itu.“
”Saya juga penasaran,“ kataku. ”Tertarik untuk ke sini lagi esok? Mencari tahu siapa laki-laki itu? Saya juga berencana akan kembali. Sebuah tugas berat bila dikerjakan oleh dua orang tentu akan terasa lebih ringan.“
Perempuan itu mengerutkan kening. Melirikku. Lalu tertawa.
Gingsulnya itu, lho. Menggemaskan.
Ini bukan Berlin. Atau Rotterdam. Mungkin tahun depan aku akan ke Paris. Atau New York. Saat musim panas. Ketika banyak seniman berwira-wiri menunjukkan kemampuannya di jalan. Tapi, sekarang ini hanya sebuah tikungan jalan dengan sebatang pohon besar. Ranting-ranting dahannya sesekali bergoyang menggugurkan daun tua. Jatuh berserakan di jalan. Aku mengamati seorang gila dan mendapat teman mengobrol seorang perempuan. ***
pengen bisa nulis cerpen kayak gini. mudah-mudahan...
BalasHapusSelamat menulis, Wismark.
Hapus