CLOS E
Cerpen Desi Puspitasari (Koran Tempo, 4 Maret 2012)
ADA
sebuah bar kecil di ujung jalan. Berdiri sudah sejak lama. Tanpa
nama. Hanya sebuah papan tipis tergantung menempel di pintu kacanya
sebagai tanda. Kalau beruntung, Anda bisa bertemu anak perempuan
pemilik bar. Saat senggang atau libur kuliah ia suka datang membantu.
Dan ia terkenal karena ceritanya yang menarik.
“Hanya semacam roman picisan,” katanya sambil tergelak.
Meski
begitu, orang-orang tetap memaksanya bercerita. Entah karena
ceritanya sendiri yang menarik atau karena mereka, para pelanggan
laki-laki, senang memiliki teman seperti dia. Anda setengah mabuk dan
ada seorang perempuan berbicara manis padamu itu rasanya menyenangkan.
Tapi, ia tidak mau sembarangan memberikan cerita. Hanya jika ia
menerima pertanyaan yang tepat.
Jadi, semisal anda datang ke bar
dan melambaikan tangan dan seorang perempuan menghampiri Anda dan
Anda bertanya, “Kata orang, Anda memiliki cerita menarik. Semacam
roman picisan. Bisakah Anda memberi tahu saya?” Maka, ia akan
menggeleng dan tersenyum. “Aku tidak punya cerita menarik. Anda mau
pesan apa?”
Tapi kalau Anda datang dan masuk ke bar dan duduk
dan melambaikan tangan dan perempuan itu menghampiri Anda dan Anda
berkata, “Aku tidak tahu kenapa bar ini bernama CLOS E. Spasi sebelum
huruf E itu—”
“Aku tahu kenapa,” kata perempuan itu. “Aku punya
cerita menarik untuk Anda. Semacam roman picisan, tapi aku suka. Anda
mau pesan apa?”
Suatu hari aku sengaja datang ke bar. Pukul satu
dini hari. Aku baru saja menyelesaikan pekerjaan dan sedang merasa
kesepian. Ketimbang merokok sendirian di pinggir jalan, lebih baik aku
mencari sedikit keramaian. Atau cerita. Apalagi cerita dari seorang
perempuan. Apalagi dia manis dan masih muda.
Aku mendorong
pintu. Keadaan di dalam tidak begitu ramai. Aku duduk di depan meja
bar. Perempuan itu tiba-tiba muncul dari balik meja. Mungkin mengambil
sesuatu yang terjatuh atau apa. Rambutnya tergerai berantakan. Ia
berkeringat dan tampak menarik. “Hai,” katanya sambil mengikat
rambutnya menjadi satu bagian.
“Hai,” kataku. “Aku ingin
bertanya satu hal. Apakah tadi sore ada taifun hebat? Menerbangkan
huruf E sehingga ia bergeser menjauh dari kawanan huruf lainnya? CLOS
E?”
Ia tertawa.
Aku menyesap botol bir dingin pertama ketika perempuan itu mulai bercerita.
Saat itu pukul satu dini hari. Seperti sekarang ini.
Ros,
ibuku, baru saja menggosok bersih meja kayu terakhirnya. Ia
menegakkan punggung dan segera pergi tidur ketika seseorang mengetuk
pintu keras-keras.
‘Kami sudah tutup!’ seru Ros. Salahnya sendiri ia belum mematikan seluruh lampu.
Laki-laki
di halaman luar itu memasang muka memelas. ‘Tolong aku.’ Kaus orang
itu basah oleh darah. Kedua kakinya bergetar hebat.
‘Kami
sudah tutup,’ katanya lagi. Ia tidak ingin mengambil resiko. Ros
berjalan menuju pusat sakelar. Hendak mematikan seluruh lampu. Tahu-tahu
terdengar suara berdebam berat. Tubuh laki-laki itu ambruk di halaman
depan bar. Ros menoleh. Oh, ini tidak bagus, umpatnya dalam hati. Lap
dan obat semprot meja dilemparnya begitu saja. Ia membuka pintu dan
menyeret laki-laki itu masuk. ‘Jangan mati kumohon,’ geram Ros
kepayahan. Tubuh laki-laki itu dua kali lebih besar dari tubuhnya.
‘Tidak akan, Bu.’
Ros melepaskan pegangan.
Laki-laki itu berusaha bangkit. Napasnya tersengal-sengal.
‘Aku tidak punya banyak uang kalau kau ingin merampok. Tanpa kau bunuh pun aku sudah pasti akan mati. Aku sudah tua,’ kata Ros.
“Memangnya berapa usia ibumu?” tanyaku.
“Saat itu empat puluh. Aku tujuh belas.”
Aku bersendawa. Perempuan itu melanjutkan cerita.
Laki-laki itu berjalan sempoyongan, lalu duduk di salah satu kursi. ‘Namaku Thomas dan aku berjanji tidak akan berbuat jahat.’
Ros
menutup pintu tanpa menguncinya. Di luar sepi. Selembar koran bekas
berkelepak terbang ditiup angin. Lampu-lampu di ujung jalan memijar
muram. Cahaya temaram di dalam ruangan sedikit menyusahkan Ros menebak
usia Thomas. Kipas angin berputar pelan di langit-langit.
‘Kau punya makanan?’ tanya Thomas.
‘Tidak sampai kau jelaskan apa maumu.’
‘Aku kelaparan, Bu. Tiga hari yang lalu aku keluar dari penjara dan tidak tahu apa yang harus kulakukan.’
Sebaiknya Ros tidak bertanya di mana keluarga Thomas saat ini.
‘Tidak
ada lagi makanan yang bisa kukorek hari ini. Jadi, aku memutuskan
untuk mengolesi pakaianku dengan sisa-sisa saus tomat terakhir yang
kutemukan di tempat sampah. Aku membasahinya dengan air supaya lebih
rata. Tapi, kukira hasilnya tidak bagus.’ Thomas menatap Ros. ‘Aku
lapar, Bu.’
Ros berpikir akan membikin roti lapis isi.
‘Aku akan membantumu membereskan yang belum beres untuk balas jasa. Aku bukannya tidak tahu berterima kasih.’
Ros
tidak mengatakan apa-apa. Ia pergi ke dapur dan kembali dengan
setangkup roti lapis isi dan segelas susu panas. Thomas mengucapkan
terima kasih berkali-kali. Ia makan dengan rakus dan menghabiskan susu
dalam tiga kali teguk.
‘Kau terlihat begitu lapar,’ kata Ros.
‘Maaf, Bu.’
“Memangnya Thomas melakukan kejahatan apa?” tanyaku.
Perempuan
itu berhenti bicara. Berpikir sebentar. Aku memperhatikan sekitar.
Tidak ada lagi pelanggan yang datang. Menjelang pukul dua dini hari.
Musik dari sudut ruangan lamat-lamat memperdengarkan “When I Was a
Child” dari Jimmy Page dan Robert Plant. Aku menyulut rokok dan
mengembuskan asapnya panjang-panjang. Dan perempuan itu melanjutkan
cerita.
Thomas akhirnya membantu Ros menjalankan bar tersebut.
‘Aku tidak bisa menggajimu dengan baik, Thomas,’ kata Ros.
‘Ya, Ros.’ Thomas tidak keberatan.
‘Jadi,
siapa yang telah kau bunuh?’ tanya Ros suatu ketika saat bar sedang
tidak ramai. Hanya para pelanggan tua yang duduk bersama di sudut
ruangan sambil bermain kartu.
Thomas yang sedang mengelap gelas tertawa.
‘Kau
bilang kau baru keluar dari penjara. Jadi, kejahatan apa yang telah
kau perbuat? Jangan bilang maling kendaraan, kau terlalu tampan untuk
sekadar mencongkel pintu mobil.’
Thomas
tertawa sekali lagi, lalu menundukkan kepala. ‘Perkara biasa. Aku
membunuh pacar ibuku. Suatu hari ibu datang ke rumahku dalam keadaan
babak belur. Wajahnya lebam dan ujung bibirnya sobek. Waktu kutanya ada
apa, ia hanya menjawab ia butuh uang. Untuk membeli kosmetik. Ia
berbohong, tapi aku tetap memberinya uang. Sampai tiga kali, dan keadaan
ibuku tidak lebih baik.’
‘Pacar ibumu yang melakukannya.’
‘Ya,
Ros,’ kata Thomas. ‘Saat akhir pekan, aku mengunjungi mereka. Ibuku
sedang sarapan dengan muka bengap dan darah kering di ujung bibir.
‘Sedikit perih, Thomas,’ katanya, ‘tapi tidak apa-apa. Tidak jus jeruk
untuk saat ini.’ Pacar ibuku tergeletak tanpa sadar di kasur. Mabuk.
Aku menendangnya hingga terbangun.
‘Tidak masuk-akal.’
‘Ya,
Ros.Tapi aku tidak peduli. Ketika bandot itu bangun, aku memintanya
meninggalkan ibuku. Kami berkelahi. Dan, aku membunuhnya. Sesederhana
itu. Ibuku panik. Ia malah menelepon polisi, melaporkanku, dan segera
kabur. Aku tidak tahu apa yang ada di kepalanya saat itu.’
‘Dan kau dipenjara.’
‘Ya, Ros. Saat aku bebas, rumahku telah dijual ibuku. Begitu juga rumahnya sendiri. Aku tidak tahu di mana ia sekarang.’
‘Oh.’ Ros hanya berkomentar pendek.
‘Kau tidak menyesal telah memperkerjakan seorang bandit?’ tanya Thomas.
‘Oh,
tenang saja. Aku pun seorang pembunuh. Aku membunuh suamiku, tapi
pengadilan memutuskan aku bertindak demi melindungi diri sendiri. Karena
laki-laki itu mati, secara otomatis hak kepemilikan bar jatuh
padaku.’
“Dua orang pembunuh bekerja bersama mengelola bar,” kataku. “Lalu, ibumu dan Thomas jatuh cinta?”
“Seperti yang kau duga.”
“Dan…. Kenapa CLOS E?”
“Ya,”
kata perempuan itu. “Waktu itu ibu dan Thomas mengadakan pesta
perpisahan kecil untukku. Aku akan pergi kuliah ke luar kota. Bar
ditutup untuk umum. Dibuka hanya untuk teman-teman sekolahku. Kau pasti
tahu bagaimana ramai dan urakannya pesta itu.”
“Ya,” kataku.
“Kami
berpesta sampai dini. Saat subuh satu demi satu temanku pulang. Aku
naik ke atas dan langsung terlelap. Hanya Ros dan Thomas yang masih
terjaga. Mereka berdua memberesi segala kekacauan di dalam ruangan. Saat
setengah sadar dari tidur, aku mendengar gelak tawa dari keduanya.
Aku bersyukur, setidaknya Ros sudah memiliki teman dekat yang bisa
melindungi saat kutinggal pergi.”
‘Kupikir kita harus memberi papan penanda untuk bar ini,’ kata Thomas.
‘Ya,’ kata Ros. ‘Supaya tidak ada lagi orang yang datang saat bar telah tutup.’
Ros
dan Thomas belanja perkakas. Saat sore Thomas mengerjakan sebuah
papan tipis dan mengecatnya hati-hati. Ia telah berhasil menyelesaikan
tulisan di salah satu bagian papan. Namun, ketika sedang berusaha
mulai menuliskan huruf terakhir….
Anak perempuan Ros tertawa.
Aku bertanya ada apa.
“Saat
itu aku turun karena merasa lapar dan ingin mengajak mereka makan
malam. Tapi, aku melihat Ros dan Thomas sedang berciuman dengan sangat…
yah, kau tahu. Aku menyambar kunci mobil Ros dan berkata, ‘Aku pergi
sampai pagi. Kalian jangan sungkan.’”
Perempuan di hadapanku tertawa lagi.
Aku yakin mereka bahkan tidak mendengarku!
Ros
dan Thomas terus bercinta di dalam bar. Saat pukul sembilan atau
sepuluh malam, seorang pelanggan mengetuk pintu. Mereka berdua tidak
mendengarnya. Pelanggan yang lain datang. Lalu pelanggan lain. Dan
pelanggan lain. Mereka mengetuk pintu bar bersamaan.
Thomas muncul dari balik meja bar dalam keadaan berantakan. ‘Kami tutup!’ katanya.
‘Tapi kalian telah tutup kemarin!’ protes seorang pelanggan.
‘Ayolah, kami butuh bir!’ protes yang lain.
‘Tapi kami tutup!’ teriak Thomas lagi.
Seorang pelanggan yang lain merangsek maju ke depan. ‘Tidak ada tanda yang menunjukkan bar ini tutup! Jadi, biarkan kami masuk!’
Dalam
pakaian seadanya dan sekenanya, Thomas keluar dari balik meja bar. Ia
menyambar papan tipis di meja, mencelupkan kuas ke dalam kaleng cat,
dan menambahkan huruf E dengan terburu-buru di belakang deretan huruf
CLOS.
“CLOS E!” teriakku.
“Ya.”
Thomas
membuka pintu dan memasang papan tanda itu di pintu. ‘Nah, sekarang
kami telah memberi tanda. Bar ini tutup! Silakan kalian pergi!’ Seluruh
pelanggan tertawa.
‘Ros dan Thomas sedang mabuk!’
‘Ya. Mabuk cinta.’
‘Sebaiknya kita segera pergi.’
‘Benar. Mereka sudah tidak dapat diganggu lagi.’
Aku tertawa. “Jadi begitu?”
Perempuan itu mengangguk. “Ya. Dan, maaf aku harus segera meninggalkan Anda sekarang. Ibuku datang.”
Aku
menoleh. Seorang perempuan paruh baya masuk diikuti seorang laki-laki
berbadan tinggi tegap. “Jadi, kau Ros dan Thomas?” teriakku dari
meja.
“Anakku telah menceritakan kisah kami?” tanya Ros.
“Ya. Apakah cerita itu benar?”
“Tebak saja sendiri.”
Anak perempuan Ros naik ke atas sambil membawa tas plastik berisi kardus makanan Cina. Ros menyusul di belakang.
Thomas hanya tertawa tapi tidak mengatakan apa-apa. Ia menggantikan anak perempuan Ros berjaga di balik meja.
Sekarang
sudah pagi. Bar akan segera tutup. Aku harus segera membayar dan
pulang. Saat keluar dan menutup pintu, aku menoleh sekali lagi. Sebuah
papan putih dengan tulisan CLOS E berwarna merah tergantung miring di
kaca pintu. Aku berjalan pulang sambil ketawa. Benar, cerita anak
perempuan itu semacam roman picisan. Tapi sungguh menarik dan
menyenangkan. Aku akan kembali lagi ke bar ini kapan-kapan. (*)
**Cerpen ini aku kirim pada tanggal 16 Januari 2012. Dimuat 4 Maret 2012.
WOOWWWWW!!!!!!! Apik!!!
BalasHapusWUOOO... NUWUUUN!!
BalasHapus