Senin, 09 Januari 2012

Fragmen Marleeka - Majalah Sabili Januari 2012

Marleeka mengembalikan beberapa lembar kertas, semacam surat, berisi tulisan panjang dan foto. Ia balas menatap guru konselingnya. Berwajah timur tengah, itu kenapa ia sedikit curiga.

“Kau sudah membacanya?” tanya Naam.

Marleeka bersidekap. “Ini semacam propaganda, ya?”

Hening. Naam balas menatap tatapan remaja belasan tahun di hadapannya. Di luar terdengar teriakan murid-murid bermain basket. Salak letusan pistol. Sekali, dua kali. Sirene polisi. Lalu sepi. Angin kering dan dingin menjelang musim gugur menggetarkan jendela. “Kau ngerti sendiri, hidup memang enggak pernah adil,” kata Naam, hati-hati.

Marleeka menggigit ujung bibir. Ia melempar pandangan ke arah luar jendela.


Ilustrasi Fragmen Marleeka - Desi Puspitasari
Majalah Sabili, 2012

Marleeka. Enam belas tahun. Tinggal di Bronx Selatan, daerah dengan tingkat kriminal paling tinggi di New York. Parkir mobil bagusmu di salah satu gang terlantar, lima menit kemudian hanya akan tersisa rangka bangkai mobil dengan penyok-penyok di seluruh bagian.

Marleeka merasa beban hidupnya begitu berat. Ibunya mati ditusuk preman mabuk. Kakak perempuannya, Mote, over dosis. Ia ditemukan hampir mati di sebuah apartemen kumuh tempat mereka tinggal bersama. Seorang tetangga melihatnya dan segera memanggil ambulan. Ketika Mote siuman, ia menangis. Katanya, tidak jadi mati dan tersadar di rumah sakit adalah bencana. Hidupnya berantakan, janinnya mati, pacarnya minggat, dan ia tidak punya cukup uang untuk membayar biaya rumah sakit. Mote bahkan baru sembilan belas beberapa bulan lalu. Mendengar itu, Marleeka ikut menangis. Menangis untuk Mote, perkataannya benar. Menangis untuk dirinya sendirinya, hidupnya sama sekali tidak menyenangkan.

“Hidup ini huruk banget.”

Marleeka merasakan angin kering menggigit setiap pori-pori kulit tubuhnya. Ada yang memainkan harmonika di jauh sana, sayup-sayup melenguh panjang dan nelangsa. Gadis itu duduk bersandar di bagian belakang sebuah gedung kusam bersama Liam, pemadat linglung. Pikiran Marleeka kalut. Namun begitu ia menampik linting ganja yang ditawarkan Liam. “Kau punya rokok?” tanyanya.

Mild?” tanya Liam sengaja berolok-olok. “Astaha, kau banhi sekali!”

“Aku tidak banci, Liam, aku kan perempuan.”

“Terserah hatamu sajalah.”

Marleeka mengedarkan pandang. Tatapannya menumbuk sebatang puntung yang masih lumayan panjang, terjepit batang besi penutup gorong saluran air. Ia berdiri dan mencungkilnya dengan mudah. Menggunakan api linting ganja milik Liam, ia menyulut rokok miliknya.

“Jadi ahahmu mati?”

Marleeka menghembuskan asap rokok. “Ha?”

“Ayah,” ulang Liam jengkel. Ia tidak suka mengulang kalimat. Bukan teler yang membikin ucapannya tidak jelas, tapi ia memang suka begitu. Ngomong tidak jelas. Liam bahkan mengarang aksen itu sendiri. Meski orang-orang sering tidak mengerti dengan apa yang dikatakannya, ia masih terus saja. Dipikirnya keren, padahal tidak.

Kayaknya. Ditembak polisi. Bubuk cokelat itu selalu nagih korban di tiap transaksi.”

“Bukan salah heroin Meksiho, ahahmu sendiri yang goblok.”

“Ya! Hoblok!”

Liam tertawa senang mendengar Marleeka meniru caranya bicara.

Hati Marleeka semakin rusuh. Ia kembali menyesap mengembuskan asap rokok. Matanya nyalang memandang ke depan. Ingin melampiaskan marah, tapi bukan pada Liam. Kalau laki-laki itu mati maka ia akan kehilangan teman. Marleeka melempar puntung puntung rokok lalu berdiri.

Liam mendongak. “Mau kemana?”

Nyolong pembalut. Mote terus pendarahan. Sebentar lagi ia pasti mati.”

“Aku ihut!” Liam bangkit susah payah.

“Tidak,” potong Marleeka cepat. “Kau hanya akan mengacau.”

Dengan limbung Liam kembali terjatuh di antara rongsokan barang bekas. Marleeka mencopot jaket gelap milik Liam dan mengenakannya. “Hei,” Liam mengangkat tangan protes sambil terkekeh. Tapi ia terlalu teler untuk merebut jaketnya kembali.

Marleeka menyusur jalan sepi dengan deretan gedung tua kusam. Lingkungan muram. Tidak ada tempat lain yang lebih menyedihkan ketimbang daerah ini. Ia memasukkan tangan ke dalam saku jaket. Mempercepat langkahnya menuju Bronx Supermarket—Shop As You Please. Seorang anak muda kelebihan energi menggunakan pylox warna terang menambah huruf H di belakang kata As.

Awalnya Marleeka hanya akan mengembat pembalut dan makanan ringan dan rokok. Tapi kemudian ia membikin sedikit kerusakan demi melampiaskan rusuh. Ia menyahut wajan bergagang dan menghancurkan deretan botol minuman keras yang berjajar rapi di sebuah rak. Suara botol pecah terdengar bergemerincing di kepala. Marleeka mengayunkan kembali senjatanya. Sederet botol kembali pecah. Lalu lagi! Dan lagi!

Hingga akhirnya seorang polisi, dipanggil melalui bel darurat yang dipencet di bagian bawah meja kasir, datang. Laki-laki itu menempeleng Marleeka sekali hingga ujung bibirnya robek dan mengeluarkan darah. Karena terus memberontak dan tidak mau mengganti biaya kerusakan, ia diseret ke mobil patroli dan dijebloskan dalam penjara. Tidak ada anggota keluarga yang bisa dihubungi. Pak polisi maklum itu. Maka ia bertanya dimana Marleeka sekolah, dan Naam dihubungi.

“Kau membikin onar lagi,” kata Naam setelah membayar tebusan Marleeka dengan uang dari koceknya sendiri.

Gadis itu menghela lengan supaya lepas dari gandengan Naam. Kondisi hatinya sedang buruk. “Berhenti menyalahkanku!”

“Aku tidak sedang menyalahkanmu,” kata Naam sambil terus berjalan.

“Tahu apa kau tentang hidupku!”

Naam berhenti, lalu membalik badan. “Aku memang enggak tahu apa-apa.” Ia berpikir sejenak. “Kau bikin sedikit tulisan tentang hidupmu kalau begitu. Besok serahkan padaku.”

“Hidupku mengerikan banget untuk ditulis.”

“Aku tidak sedang bilang bahwa hidupku menyenangkan.” Naam menimbang sejenak, tapi tidak ada lagi yang ingin dikatakannya pada gadis itu. Maka ia melanjutkan perjalanan. Kembali ke sekolah.

Marleeka berdiri dalam diam. Angin kering masih terus menghempas-hempas. Tanpa disadari olehnya sendiri, matanya mengembun, lalu berkaca-kaca. “Brengsek.” Gadis itu mengumpat atas hidupnya.

***

“Memang enggak adil,” kata Marleeka pelan. “Kifah Afaneh itu saudaramu?”

Naam menggeleng.

Hening lagi di antara mereka. Bel berdering, waktu istirahat telah usai. Murid-murid kembali ke kelas. Kali ini tidak ada yang berkelahi di halaman sekolah. Mungkin nanti sore. Sudah menjadi rahasia umum, para siswa, laki-laki dan perempuan, selalu menyimpan pisau lipat di dalam sepatu atau pakaian dalam. Kalau di Palestina, batin Marleeka, kali ini tidak ada pelecehan oleh tentara Israel terhadap wanita-wanita Palestina. Mungkin beberapa jam lagi. Sudah menjadi rahasia umum tentara itu kerap melakukan semua jenis kekerasan; penyiksaan, penghinaan, dan pelecehan, bahkan terhadap Palestina renta.

“Aku hanya enggak tahu apa yang harus aku lakukan, Naam. Aku begitu marah, dan—“ Marleeka tidak melanjutkan bicara. Ia kembali ingat tulisan Afaneh yang dibacanya berulang-ulang semalam.


Aku lahir di antara suara keras ledakan bom yang menghancurkan gedung sekolah, 20 kilometer dari rumahku yang lebih terlihat seperti puing. Keadaan waktu itu payah, kata ayah. Kami kekurangan air bersih. Pasokan air dan listrik diatur semena-mena oleh pihak Israel. Listrik dan air menyala tidak tentu waktu, lebih seringnya tidak menyala. Kadang aku membayang-bayangkan keadaan ibuku yang berdarah-darah, aku bayi ribut menangis haus mencari air susu, sedang ibuku sudah sedemikian kurus dan kurang makan layak seminggu dua sebelum melahirkan.

“Untung aku dan kakak laki-lakimu telah menampung cukup banyak air hujan,” kata ayah lagi.

Kakak laki-lakiku dan teman-temannya mengetapel mata para tentara dengan keakuratan sasaran tingkat tinggi. Mata mereka berdarah-darah dan mereka mengumpat-umpat. Kakak laki-lakiku dan teman-temannya menghambur pergi berlari. Salah satu tentara berhasil mencekal salah satu bocah, yaitu kakak laki-lakiku. Dalam jarak tembak sepuluh senti, pistol menyalak tepat di bagian tengah dahi.

Apa yang bisa kuharapkan dari hidupku?

“Kau tidak boleh berhenti berharap,” kembali kata ayah.

Kupikir aku tidak boleh menyesali keadaanku.

Suatu waktu, menjelang pernikahan Kadifah, teman sekelasku dulu, ia merasa cemas seumpama besok ia hamil dan melahirkan. “Bagaimana kalau kami tidak bisa melewati perbatasan untuk pergi ke rumah sakit, Kifah?”

Aku tahu, aku mendengar banyak cerita, banyak perempuan hamil terpaksa melahirkan di pos jaga perbatasan karena para tentara tidak memberi ijin melintas. Banyak dari ibu dan bayi itu akhirnya mati kemudian. Aku tidak pernah tahu apa sebenarnya yang ada dalam kepala mereka, para tentara, hingga berperilaku sedemikian keji. Ketika aku 8 tahun, di lubang persembunyian, aku melihat para serdadu baru berlompatan turun dari truk dengan mengenakan kaus bertuliskan, tembak wanita Palestina yang tengah hamil, maka dua sasaran sekaligus tercapai. Wah! Aku bahkan tidak bisa percaya bahwa para mereka juga termasuk golongan manusia!

Di sebuah Minggu yang murung, setelah aku mendengar kabar kematian kakak laki-lakiku, rumah kami digrebek. Para tentara menggedor pintu hingga ayah hampir saja melompat jatuh dari kursi. Aku ditanyai macam-macam, lalu diseret pergi setelah salah satu dari mereka menghantamkan popor senjata pada pelipis ayah.

Memangnya aku salah apa!? Seseorang tidak harus melakukan perbuatan salah untuk diseret tentara Israel. Tidak ada alasan khusus, mereka hanya ingin bersenang-senang. Hanya manusia berwatak keji yang memiliki kesenangan menyiksa dan menikmati penderitaan orang lain.


“Apa negara Palestina ini ada?” tanya Marleeka.

“Menurutmu?”

“Kupikir pasti ada. Hanya saja tidak terlalu diberitakan.”

 “PBB telah berupaya banyak kalau kau mau tahu, tapi....” Guru konseling itu mengangkat bahu. Alis dan dahinya mengerut nelangsa.

Marleeka menggeleng sedih, ia tidak tahu banyak tentang Palestina. Media massa pun seperti tidak terlalu berpihak pada mereka. Sekilas Marleeka ingat, ia pernah mendengar berita bahwa satu dua tentara Israel tewas terkena lemparan bom rakitan tangan bocah Palestina usia lima tahun. Menurut Marleeka, berita itu berlebihan. Mati karena bocah lima tahun dan meminta perhatian lebih dari dunia?

“Ini lebih dari masalah Kifah Afaneh pribadi, ya? Ini persoalan negara?” Marleeka tidak bertanya, hanya mengutarakan dugaannya.


Sel tahananku berukuran dua meter persegi. Begitu kotor, dingin, tanpa ventilasi. Aku mendapatkan kasur tidur basah dengan tempat buang air di samping tempat tidur. Baunya amat busuk. Makanan yang diberikan sudah kotor dan dikerubuti banyak lalat. Kalau aku haus? Seorang petugas akan mengencingi gelas dan menyodorkan dan memaksa untuk diminum.


Ini pelecehan, gumam Marleeka dalam hati. Ia keluar dari ruang konseling dan meninggalkan Naam yang muram. Sewaktu Marleeka berpamitan, terdengar suara kaca pecah. Lalu dengung sirene maling. Ketika Marleeka melonjak kaget, Naam hanya berkata, “aku sudah biasa mendengarnya selama hidupku.”

Marleeka memasukkan tangan ke dalam saku jaket. Ia yang lahir dan tumbuh di lingkungan ini masih saja terkaget-kaget, kenapa Naam tidak? Jangan-jangan ia Kifah Afaneh? Dipenjara dalam usia enam belas, dilecehkan dan diperkosa, berhasil mencuri bayonet salah satu sipir penjara, menancapkannya tepat di leher pemiliknya, berusaha kabur, tapi, tentu saja, gagal. Ia lalu disiksa habis-habisan. Sampai pada akhirnya dibebaskan pada usia 25.

Mungkin seorang saudara berhasil menyelamatkan dan membawanya ke Perancis, batin Marleeka. Ayah Kifah masih memiliki tautan darah Istanbul. Banyak imigran Turki atau Aljazair pergi dan menetap di Jerman atau Perancis. Lalu Naam melanjutkan pendidikan menengah, sekolah menjadi guru, kemudian bertugas di daerah Bronx Selatan yang menyedihkan. Dugaan Marleeka barusan bisa jadi benar, bisa jadi tidak. Hanya saja yang pasti, ia tidak mengerti iblis atau jiwa jahat macam apa yang bercokol dalam benak dan pikiran para Israel.

Angin kering menjelang musim gugur masih saja terasa menggigit-gigit. Ada yang memainkan harmonika jauh di sana. Sayup-sayup suaranya terdengar panjang dan begitu nelangsa. Mote menunggunya di rumah dalam keadaan payah. ***


[] dimuat di Majalah Sabili, Minggu 8 Januari 2012

0 comments:

Posting Komentar

Copyright © 2010- | Viva | Kaffee Bitte | Desi Puspitasari | Daily | Portfolio