Minggu, 23 Oktober 2011

Pseudonim; Pink Donuts!

Bila tak menggunakan nama samaran Mira Sato, barangkali setelah menerbitkan buku kumpulan puisi MATI MATI MATI pada tahun 1975, setahun setelah peristiwa Malari (Malapetaka Januari, 1974) Seno Gumira Ajidarma ditangkap dan dijebloskan penjara. 

Seumpama Eduard Douwes Dekker tak menggunakan nama Multatuli saat menulis Max Havelaar, bukan tak mungkin ia akan mati. "Multatuli" bahasa latin memiliki arti kurang lebih "penderitaan yang terlalu banyak".

Ada dua alasan mengapa di buku terbarunya, JK Rowling menggunakan nama Robert Galbraith. Pertama, ia ingin mengetahui sejauh mana tulisan terbarunya diterima penerbit ketika ia menggunakan nama baru (karya Harry Potter mulanya ditolak 60 kali sebelum akhirnya diterbitkan dan berhasil). Kedua, ingin menghapus kesan JK Rowling - penyihir cilik dalam novel detektif dewasa. 



Alasan Keamanan

Alias /ali as/ 1 disebut juga; sama dengan (digunakan pada nama); 2 nama samaran (since I wrote this journal, I've working with my Gramedia's editor, and she liked to copy-paste KBBI's word to explained in our diction's discussion).

Alias atau pseudonim (/pseu do nim/ nama yang digunakan penulis untuk menyembunyikan identitas asli; nama samaran) pada mulanya digunakan hanya untuk menyembunyikan identitas si penulis demi alasan keamaan. Apabila tak melindungi diri sendiri (salah satunya dengan 'menggubah' nama asli) bukan tak mungkin si penulis akan ditangkap, diasingkan, dan bisa jadi dibunuh oleh pihak-pihak yang merasa disudutkan.

sumber gambar


Alasan Citra

Seiring berkembangnya zaman, nama samaran tak lagi digunakan sebagai tempat bersembunyi. Tapi, lebih ke arah pemasaran. Misalnya saja supaya lebih mudah disebut dan diingat. JK Rowling yang bernama Joanne Rowling. Nama tengah Kathleen merupakan nama neneknya. Hingga akhirnya JK Rowling dipilih menjadi 'nama pena' untuk buku Harry Potter disinyalir lebih karena alasan maskulinitas. Sebuah buku fantasi dengan tokoh utama bocah laki-laki, supaya laku secara pemasaran, sebaiknya tak memiliki nama penulis perempuan.


Memudahkan Pembaca Memilih Buku

Ketika sebuah nama samaran akhirnya diketahui oleh para pembacanya, lalu mengapa tetap bertahan menggunakan alias? Toh, semua alias yang sudah disebutkan di atas telah diketahui siapa nama asli pengarangnya? Lalu, apa gunanya pseudonim?

Untuk memudahkan pembaca memilih buku. Hal ini cenderung terjadi untuk jenis bacaan yang berbeda sama sekali. Misalnya, novel populer-romance dan horor. Penulis, terlepas dari genre apapun yang sering ia tulis, biasanya serba bisa menulis berbagai macam aliran tulisan. Entah kemudian ia akan bertahan menulis pada genre tertentu atau menjajal semuanya.

Sebuah citra genre tulisan yang melekat biasanya tergantung pada jenis tulisan pertama yang meledak/sukses. Bila novel pertama bermain dalam jenis religi dan sukses, maka citra yang bertahan pada penulis tersebut adalah penulis religi. Sehingga ketika penulis tersebut menulis novel genre lain yang berbeda sama sekali, para pembaca novel religi akan memprotes mengapa tulisan baru si penulis tidak lagi salih/salihah. (Ya, ini berangkat dari pengalamanku sendiri).

Contoh lain, pada penulis yang sudah kadung memiliki pembaca loyal untuk jenis novel populer-romance. Kemudian si penulis tersebut menerbitkan novel horor-thriller-gore berdarah-darah dengan nama sama. Pembaca yang hanya 'melihat nama', serta merta langsung mencomot buku tersebut dari rak dan membacanya. Padahal ia benci cerita horor, terlebih dengan penggambaran adegan sadis yang berlebihan.

Alhasil, novel tersebut bikin gemetaran dan dibuang. Si pembaca merasa 'dibohongi'. Sejak itu ia tak mau membeli novel dari si penulis meski akhirnya kembali menerbitkan cerita romance. 

Penulis sama halnya aktor, bisa berperan menjadi apa saja dan siapa saja. Bisa menulis dalam aliran apa saja;baik sastra, populer, romance, komedi, horor, thriller, gore, dan apapun. Bila seorang aktor bisa menjadi apa saja, penulis pun seharusnya sama saja. Namun, pembaca kita belum sedewasa itu untuk memahami.

Jadi, tetapkan secara pasti citra nama kamu (baik nama asli atau samaran), dan bila ingin menghasilkan tulisan baru dengan citra yang sama sekali berbeda, bikin saja nama baru. Tapi bila bertahan ingin tetap menggunakan satu nama dalam berbagai macam tulisan juga tidak masalah.


Membikin Alias

Ada beberapa cara menciptakan pseudonim. Bisa dari bahasa asing yang memiliki makna tertentu (seperti Multatuli), bisa dari apa saja.

Hamka penulis Tenggelamnya Kapan van der Wijk merupakan nickname dari nama Haji Abdul Malik Karim Amrullah.

Sementara Motinggo Boesje yang selain penulis naskah lakon terkenal Malam Jahanam, juga menulis novel bertemakan seks dan kehidupan malam berasal dari bahasa Minangkabau, yaitu mantiko yang memiliki arti bengal dan eksentrik, dan bungo yang berarti bunga. Dari Mantiko Bungo inilah kemudian beralih menjadi Motinggo Boesje.

Samuel Langhorne Clemens yang kemudian lebih dikenal dengan nama Mark Twain merupakan penulis novel The Adventure of Tom Sawyer. Mark Twain tinggal di kota sebelah sungai Mississippi di Amerika Serikat dengan begitu banyak kapal-kapal uap berlalu lalang. Berangkat dari istilah yang kerap dipakai para awak kapal untuk mengukur dalamnya air, yaitu "dua depa dalamnya" lahirlah nama Mark Twain. 

Aku sendiri pernah menggunakan nama samaran Randu Wangi untuk cerpen pertama yang dimuat di media massa. Di sebuah siang, saat duduk di ruang tamu tiba-tiba mencuat nama Randu Wangi. Aneh memang. Tapi rasanya kuat sekali, meski tak bisa dijelaskan sekuat apa dan bagaimana. Iseng, ketika mengirimkan cerpen "La Vie" aku menggunakan nama tersebut. Sekitar dua bulan kemudian, cerpen itu dimuat Koran Tempo Minggu, Maret 2011. (cerpen bisa dibaca di SINI)


Pink Donuts!

Aku membaca di sebuah postingan di Facebook mengenai bagaimana cara memberi nama kelompok band, aku kira lucu dan bisa kamu gunakan untuk menciptakan 'nama baru'. Begini caranya:

your underwear colour + food you eat rite now = your name

Meine name ist PINK DONUTS! What is yours?

0 comments:

Posting Komentar

Copyright © 2010- | Viva | Kaffee Bitte | Desi Puspitasari | Daily | Portfolio