Sabtu, 06 Februari 2016

Surat Perjanjian atau Surat Kerjasama

Pada tahun 80-an (koreksi aku bila salah) Didik Nini Thowok sudah memberlakukan surat kontrak kerja bagi orang yang ingin menggunakan jasanya. Maksudnya begini, bila ada yang mengundang Didik Nini Thowok untuk pentas, maka akan dibuat surat kontraknya terlebih dulu; utamanya berapa honor yang akan didapat. 

Tujuan seniman itu berkeras supaya tidak keblondrok ataupun tombok. Saat membuka amplop honor pun tidak akan deg-degan dan berujung kecewa. Bila tanpa surat kontrak, biasanya seniman akan tombok -- biaya keluar seperti transportasi, kostum, make up, dan lain-lain tak tertutup dengan honor yang didapat setelah pentas.

Dengan adanya surat kontrak, maka kesepakatan bersama akan bersifat mengikat dan masing-masing pihak akan saling bertanggung jawab.

Contoh surat perjanjian penerbitan buku Desi Puspitasari dengan Penerbit Bentang Pustaka


Pada saat itu Didik Nini Thowok semacam disebut seniman sombong -- belum apa-apa sudah 'bertingkah', meminta surat kontrak seperti tidak percaya saja dengan yang memberinya pekerjaan. Tapi, ia kukuh pada sikap dan keputusannya.

Sikap seperti ini perlu ia tunjukkan karena ia memutuskan untuk bersikap profesional pada profesinya (termasuk pula tak ingin merugi). Ketika kesepakatan sudah tertulis jelas, maka ke depan pekerjaan akan berjalan dengan lancar dan antara dua pihak sama-sama enak.

Sekarang, seniman tari transgender tersebut berkata bahwa banyak seniman yang melakukan tindakan sama dengannya. Bahkan, apabila ia lupa memberi surat kontrak pada seniman yang sedang bekerja sama dengannya, si seniman tersebut yang akan menagih.

Didik Nini Thowok akan menjeb bercanda. Dulu saja dia dibilang riwel, eh sekarang pas sudah tahu enaknya menggunakan surat kontrak pada ngerengek-ngerengek. 

Cerita tersebut aku dapatkan saat menghadiri diskusi dengan seniman tersebut di salah satu acara PKKH UGM. Dan, bukankah sikap profesional tersebut juga sebaiknya diterapkan pada profesi penulis pula? :)

Setiap saat hendak menerbitkan buku, antara penulis dan penerbit akan ada Surat Perjanjian Penerbitan. Di dalam sana diatur beberapa pasal dan ayat yang berisi banyak hal. Salah satunya termasuk jumlah royalti dan berapa potongan pajak. Selain itu tentu masih banyak yang lain.

Bila kamu sebagai penulis menerima saja bekerja tanpa surat kontrak, aku kira untuk kondisi sekarang sangat kurang tepat. Aku membedakan menulis menjadi dua: hobi dan profesional. Saat kegiatan menulis hanya menjadi hobi, maka saat kamu ikhlas tidak menerima bayaran atas tulisan yang kau terbitkan, maka itu tidak menjadi masalah.

Namun, saat kau sudah memutuskan bahwa menulis adalah pekerjaan dengan penulis adalah sebutan profesimu, maka bersikaplah profesional. Minta surat kontrak atau surat perjanjian yang berisi pasal-pasal dan ayat yang mengatur pekerjaan dengan tegas.

Sikapmu ini barangkali akan menimbulkan beberapa kesulitan di awal, seperti misalnya janji kerjasama tidak jadi dilanjutkan dan bahkan kau diremehkan dengan dibicarakan di belakang; baru jadi penulis begitu saja sudah rewel dan ribet. Tapi, hei, ingat kan Didik Nini Thowok dulunya juga dibegitukan. Dan lihat dia sekarang, bagaimanakah laju kariernya? ;)

Sekarang sudah tahun 2016, MEA atau Pasar Bebas Asia Tenggara sudah berlaku. Jika 'lembek' maka tenagamu bisa diperas habis-habisan. Bila kau tegas, maka pihak lain (yang profesional, yaa, yang tidak profesional biasanya memilih enggan melanjutkan kerjasama) pun segan dan kalian akan saling bekerja sama dengan cara yang baik.

Be professional. 
Copyright © 2010- | Viva | Kaffee Bitte | Desi Puspitasari | Daily | Portfolio