Kamis, 22 Desember 2016

Masih Ingin Menjadi Penulis?

Menulis dan merevisi novel terus menerus ternyata bisa membikin kangen menulis blog. Membahas perihal menulis dengan ringan. Dan lagi memang sudah lama enggak update di sini. 

Hei-halo, apa kabar? Ada cerita apa?

Tahun 2016 ini project menulisku lumayan. Setelah ’dipegang’ Masku, aku menjadi lebih produktif. Ditambah dengan merambah bidang baru; menulis naskah monolog untuk pentas teater bersama kawan-kawan di Jaring Project. Ada liputan kami di Koran Kompas dan Majalah Tempo—barangkali kamu sempat membacanya. 

Tahun 2017 sebentar lagi datang, ya. Sudah membikin resolusi tahun baru? Kalau aku kok enggak sempat mikir begituan. 😁

Ada kabar baru, novel baruku telah akan terbit bulan Februari dan Maret 2017. Yap, dua novel sekaligus. Semoga lancar dan sesuai rencana terbit. Kali ini bekerja sama dengan Falcon Publishing dan Republika Penerbit. 

Sejauh ini bekerja sebagai penulis, aku terkadang memikirkan beberapa hal random:

1. Penulis hampir sama dengan aktor/pemain film. Bila aktor bisa menjadi apa saja, memainkan berbagai macam karakter baik atau buruk, penulis juga demikian. Di satu buku seorang penulis bisa menulis tentang kisah seorang ustazah, misalnya. Di buku berikutnya ia boleh-boleh saja menulis tentang seorang pembunuh profesional macam Nikita dalam film La Femme Nikita. 

Namun, ya begitulah. Bila penikmati film atau sinetron di Indonesia sudah mulai bisa membedakan; karakter baik atau jahat dalam layar lebar atau layar kaca hanya tuntutan peran, pembaca di kita sepertinya... belum? Mereka masih mencampuradukkan kehidupan pribadi penulis dengan isi cerita beserta tokoh-tokohnya di dalam novel. 

2. Menjadi penulis sama seperti pekerja kantor. Dalam artian lembur-lembur, memiliki tenggat, jam kerja, ditolak ide atau hasil kerjanya (aku membandingkannya dengan mereka yang bekerja di agency iklan misalnya), diminta merevisi atau membikin yang baru, dan yang luput dari perhatian adalah....

Disiriki oleh teman-teman ’kerja‘ atau seprofesi. Disengiti rekan sesama penulis. Disindir-sindir dalam status, dan bahkan dijatuhkan.

Hahaha. Masih banyak yang lain, tapi aku sebutkan cukup itu saja.

One step better at a time!
Well, berprofesi sebagai penulis tidak mudah. Banyak haling-rintangnya. Terkadang aku dan seorang sahabat yang sama-sama penulis mengobrolkan hal ini. Saat itu sore hari, hujan di luar, dan kami menyesap secangkir teh panas.

”Kok banyak anak muda yang mau jadi penulis ya, Mbak? Padahal dunia ini kerasnya minta ampun.”

“Ya, begitulah. Sama seperti mereka yang ingin menjadi artis. Yang terlihat adalah gemerlap dunia dengan segala kemudahan fasilitasnya. Bahwa ada jalan terjal panjang yang harus dilewati, itu yang tak terlihat.” 

Copyright © 2010- | Viva | Kaffee Bitte | Desi Puspitasari | Daily | Portfolio