PUKUL
11:00 malam. Ros baru saja mengundurkan botol kosong dan gelas bekas seorang
pelanggan. Bar lumayan sepi. Ini Kamis. Hari kerja. Apa yang bisa ia harapkan?
Orang-orang masih harus bangun pagi esok hari untuk berangkat ke kantor.
Sekarang
pukul sebelas. Ros menunggu seseorang. Ia menang ‘taruhan’. Orang itu akan
memberinya sebuah cerita. Sekitar tiga atau empat hari lalu, seorang laki-laki
asing, Ros belum pernah melihatnya, datang dan langsung duduk.
“Anda
mau pesan apa?”
“Apa
kau bisa mencampurkan sianida dalam minumanku?”
“Aku
tidak mau dipecat dan masuk penjara, Pak.”
“Kalau
begitu dua botol bir tanpa sianida.”
Hari
berikutnya laki-laki itu datang lagi. Keadaannya semakin berantakan. Ia selalu
memesan minuman yang sama dan tanpa sianida. Di hari kelima, Ros penasaran.
Selama ini ia selalu, kurang lebih, tahu masalah yang sedang melanda
pelanggannya. Namun, tidak untuk masalah laki-laki satu ini. Saat bar sedang
senggang, Ros sengaja memanfaatkan istirahat makan malamnya dengan duduk
semeja. “Kau tidak keberatan aku duduk di sini.”
“Tidak.”
Ia lalu menenggak bir langsung dari botol.
Ros menyantap roti lapis isinya dalam diam.
Beberapa menit kemudian dia mengerutkan kening. Melalui sudut mata ia melirik.
Laki-laki itu tidak bereaksi apa-apa. Cambang di janggutnya tumbuh semakin
liar. “Maaf, tapi aku tidak bisa menelan makanan bila disuguhi wajah muram.”
“Aku
akan pindah tempat duduk.”
Ros langsung mencegah cepat-cepat. “Tidak,
Pak. Sebenarnya aku hanya ingin tahu apa masalahmu.”
Laki-laki
itu berhenti bergerak.
“Aku
tidak bermaksud lancang. Aku tadi hanya bercanda. Istirahat makan malamku
tinggal lima menit.”
“Buat
aku tertawa.”
Ros
tidak jadi bangkit pergi. “Maaf, apa?”
“Buat
aku tertawa lalu aku akan bercerita ada apa.”
“Aku tidak pandai melawak,” kata Ros.
Laki-laki itu tidak mengatakan apa-apa.
“Yah,
mungkin lain kali.” Ros berkata demi kesopanan. Di tengah kalimatnya ia
cegukan. Sepotong roti menyangkut di tenggorokannya. Ia mengeluarkan bunyi
seperti tercekik dengan muka kaget. Laki-laki itu menatapnya, lalu tawanya meledak. Ros buru-buru
menyahut botol air mineral dan meneguknya cepat.
“Kau sudah membuatku tertawa,” kata laki-laki
itu. “Aku akan bercerita padamu. Besok. Pukul sebelas.”
***
SEKARANG pukul
11:05 malam. Laki-laki itu belum juga tampak. Seorang pelanggan lain datang. Ros segera mencatat pesanan.
Ketika ia kembali dengan dua botol bir dan gelas dalam baki, di sudut sebelah
selatan laki-laki itu duduk dan mengangkat tangan.
“Pesan apa, Pak?” tanya Ros dengan baki
kosong.
“Waktumu.”
“Anda
terlambat sepuluh menit.”
“Aku
tahu. Dua botol bir tanpa sianida dan waktumu.”
Saat
Ros kembali membawa pesanan dan duduk, mata laki-laki itu merah. Mungkin
mengantuk atau habis menangis. Setelah menenggak dua gelas bir berturut-turut,
laki-laki itu memulai cerita. “Aku tidak bisa tidur akhir-akhir ini. Sudah
sekitar seminggu atau dua. Setiap kali tidur, aku selalu didatangi mimpi yang sama.
Aku selalu didatangi Jedi. Istriku.”
Ros mengangguk.
“Ia suka sekali mengulang-ulang cerita
mengenai satu bagian bab The History of Love. Nicole Krauss.
Menurutku itu novel cengeng, tapi istriku suka. ‘Jadi begini, Tomas,’, begitu
ia memulai kisah.”
Ia sedikit mengubah caranya berbicara.
’Waktu itu Leo Gursky, maksudku, Litvinoff,
atau aku lupa siapa, membikin sketsa perempuan telanjang yang duduk di bagian
tengah kelas. Dosennya melongokkan kepala lalu mengangkat kertas milik
laki-laki itu sambil berkata, ‘apa yang kalian lihat? Payudara atau papan
Frisbee?’
‘Aku tidak tahu,’ jawabku.
‘Lalu
dosen itu bilang, ‘arsir sedikit untuk memberi kesan berbayang.’
‘Apa
kau mengenal Litvinoff, Jedi?’ tanyaku.
‘Tidak.
Yang kumaksud di sini adalah kau jangan selalu bergoyang-goyang, Sayang, aku
sedang menggambarmu!’
“Seperti
itu.”
“Istrimu
suka menggambar,” kata Ros kemudian.
“Membikin
sketsa,” ralat Tomas.
Ros
tidak tahu apa bedanya, jadi ia diam saja.
“Dia
suka sekali membikin gambar wajahku. Saat akhir pekan, dia akan bangun pagi
sekali. Pergi berjingkat tanpa suara mengambil buku gambar dan pensil di ruang
perpustakaan. Lalu segera kembali ke tempat tidur. Saat aku masih tidur, ia
tekun memindah figur wajahku dalam kertasnya.”
Ros mencoba mengamati wajah laki-laki di
hadapannya. Menjelang
40 sepertinya 35 atau 38 tahun.
“Jedi
selalu membungkuk. Punggungnya melengkung ke arah dalam dengan pandangan mata
berjarak sepuluh senti dari permukaan kertas. Rambutnya menjuntai ke bagian samping. Tergerai lurus dan
acak-acakan dengan bagian-bagian yang saling memilin. Ujung-ujungnya menyentuh
kertas gambar. Biasanya aku akan sedikit membuka mata untuk mengintip. Aku
selalu suka melihatnya dalam kondisi baru bangun tidur. Lalu aku akan kembali
memejamkan mata. Menikmati suara gesekan permukaan ujung pensil di atas kertas.
Tiupan. Jedi suka sekali menggosok bagian arsiran lalu meniupnya.”
Ros tidak tahu ke arah mana cerita laki-laki
itu akan tertuju.
“Hasil gambar Jedi memang selalu jauh dari
sempurna—ia sendiri selalu mengakuinya. ‘Kenapa hasil gambar kepalamu lebih
terlihat seperti melon ketimbang bentuk kepala sungguhan!’” Tomas tertawa
sambil kembali menuang bir. Ia menawari Ros. Ros menolak. “Kalau sudah tidak
ingin mendengar ceritaku, kau bilang.”
“Tentu saja,” jawab Ros.
“Itu tentang Jedi. Kemudian seminggu atau dua
minggu kemarin, aku selalu memimpikan bagian-bagian tersebut. Di
hari pertama, mimpi itu terlihat begitu jelas, lebih panjang, dan memiliki
akhir. Selanjutnya aku hanya melihat bagian-bagian yang kuceritakan itu hadir
secara berulang-ulang. Semakin lama semakin
tampak muram.” Tomas bersendawa kecil. “Di mana Jedi? Kau pasti ingin bertanya
itu, kan?”
Ros mengangguk.
Tomas menggeleng mengusir mabuk.
“Hari pertama bermimpi, aku melihat Jedi
sedang tekun menggambarku. Di tempat tidur. Matahari semakin
meninggi. Sinarnya menembus jendela. Setitik keringat bertengger di ujung
hidung. Aku berpikir, apa sebaiknya aku bangkit dan segera membuka jendela,
mengganti udara? Tapi aku malah tetap berbaring sambil bertanya, ‘apa tukang
korannya sudah datang?’
Jedi tidak menjawab. Ia mendongak. Tatapan
matanya sayu.
Aku merasa seperti ada yang salah. Aku kembali
bertanya, ‘apa ada yang salah, Yang?’
Jedi hanya tersenyum. Ia meletakkan papan
gambar dan pensil ke atas meja. Katanya, ‘aku mau tidur’. Ia lalu menyusupkan
tubuh tepat di sampingku. Maka aku tidak bisa berbuat apa-apa.”
Muka
Tomas berkerut-kerut. Ros tidak bisa menjelaskan dengan tepat apa arti ekspresi
yang sedang ia lihat sekarang.
“Kupikir
ini hari Minggu, kami berhak bermalas-malasan lebih lama di tempat tidur. Tapi,
lalu aku berpikir. Tanggal berapa sekarang? Hari apa sekarang? Hari Minggu?
Benarkah ini hari Minggu? Hari Minggu tanggal berapa? Kalau tidak salah—lalu
aku terbangun. Pintu kamarku digedor keras! Orang tua dan saudara-saudaraku.
Aku tergeragap bangkit. Tengkukku kaku dan nyeri. Sesaat setelah menahan nyeri,
aku menoleh. Sketsa yang dibikin Jedi bertebaran di atas tempat tidur. Sketsa
bikinan dua hari lalu. Lalu aku sadar, hari Minggu ini adalah hari pemakaman
istriku.”
Ros berusaha memberikan tatapan penuh simpati.
“Sebuah mobil sembrono dari arah depan
menghantam mobil Jedi saat membelok ke sebuah jalan sempit. Ia baru saja pulang
berbelanja dari supermarket. Kantung kertas di kursi depan tergencet moncong mobil
penabrak! Isinya berhamburan ke segala arah!” Suara Tomas seperti tercekik.
“Juga Jedi—tubuh Jedi ...”
Ros menelan ludah imajiner.
“Kembali ke kamar, aku mendengar ibuku
berbisik lembut dari balik pintu, ‘Jedi akan segera diberangkatkan sebentar
lagi, Tomas. Aku
yakin kau pasti ingin bersamanya di saat-saat terakhir.’
’Aku
akan keluar ... sebentar lagi,’ kataku dengan susah payah. Aku terlalu mabuk
saat malam sebelumnya. Alkohol murahan itu meninggalkan efek tidak
menyenangkan.
‘Tomas,’
ibuku kembali memanggil, ‘kuharap kau baik-baik saja.’”
Lalu
Tomas diam lama. Kali ini ia tidak menuang bir dalam gelas tapi menenggak habis
langsung dari botol... Ia meneteskan air mata yang dihapusnya cepat-cepat. Ia
tersenyum, meski tampak sekali seperti dipaksakan. “Itu ceritaku. Aku sudah
tidak punya utang cerita lagi kepadamu, ya?”
Ros
tertawa.
Tomas
diam sebentar. “Meski tidak seratus persen benar, tapi hidup sebenarnya
hanyalah mengenai perkara kehilangan. Seorang bayi lahir di dunia dengan
kehilangan rahim hangat yang telah melindungi selama sembilan bulan. Seorang
anak yang telah lancar berjalan kehilangan uluran tangan orang dewasa sebagai
penjaga keseimbangan. Laki-laki dan perempuan dewasa kehilangan masa sendirinya
melalui pernikahan. Lalu, laki-laki dan perempuan dewasa yang menjadi orang tua
dalam artian fisikal, tentu saja kehilangan kemudaan mereka. Lalu mereka akan
kehilangan anak-anak mereka. Dan kehilangan diri mereka sendiri melalui
kematian. Aku ... juga kehilangan Jedi melalui kematian.”
Ros
tidak buru-buru menanggapi. Lalu katanya, “ya.”
“Kau
setuju?”
“Kurang
lebih.”
“Kau
mau bercerita? Sebelum kembali bertugas?”
Kelopak
mata Ros bergerak-gerak. Berpikir. “Sebulan lalu.” Ia memutuskan bercerita. “Aku
kehilangan janinku. Usiaku 40 dan baru hamil dengan kondisi kurang baik. Aku
terpeleset dan ia harus dikuret.”
Tomas
memasang muka bersimpati.
“Tapi,
aku baik-baik saja sekarang.” Ros tersenyum dan bangkit.
“Suamimu?”
“Oh,
kami akan bercerai minggu depan. Ia tetap ingin punya anak. Dan, gadis usia 19 tahun yang
ditemuinya di sebuah bar menurutnya lebih subur dan lebih bisa menghasilkan
keturunan.”
Tomas tidak berkata apa-apa.
“Aku
harus pergi.” Ros berbalik.
“Bu,”
panggil Tomas, “terima kasih.”
Ros
berhenti sejenak dan menoleh. “Hidup sebenarnya hanyalah mengenai perkara
kehilangan.”
“Kukira
begitu.”
“Kukira
ini hanya mengenai cara pandang.” Ros berlalu.
Hari
ini hari Kamis. Bar tidak begitu ramai. Tentu saja. Orang-orang masih harus
bangun pagi untuk berangkat kerja esok harinya. Asap rokok membumbung tipis-tipis memenuhi ruangan.
Pelanggan-pelanggan. Pesanan-pesanan bir. Cerita-cerita kehilangan. (*)
0 comments:
Posting Komentar