Sabtu, 07 Desember 2013

Pukul Sebelas Malam




Cerpen Desi Puspitasari (Jakarta Beat, 7 Desember 2013)


PUKUL 11:00 malam. Ros baru saja mengundurkan botol kosong dan gelas bekas seorang pelanggan. Bar lumayan sepi. Ini Kamis. Hari kerja. Apa yang bisa ia harapkan? Orang-orang masih harus bangun pagi esok hari untuk berangkat ke kantor.

Sekarang pukul sebelas. Ros menunggu seseorang. Ia menang ‘taruhan’. Orang itu akan memberinya sebuah cerita. Sekitar tiga atau empat hari lalu, seorang laki-laki asing, Ros belum pernah melihatnya, datang dan langsung duduk.

“Anda mau pesan apa?”

“Apa kau bisa mencampurkan sianida dalam minumanku?”

“Aku tidak mau dipecat dan masuk penjara, Pak.”

“Kalau begitu dua botol bir tanpa sianida.”

Hari berikutnya laki-laki itu datang lagi. Keadaannya semakin berantakan. Ia selalu memesan minuman yang sama dan tanpa sianida. Di hari kelima, Ros penasaran. Selama ini ia selalu, kurang lebih, tahu masalah yang sedang melanda pelanggannya. Namun, tidak untuk masalah laki-laki satu ini. Saat bar sedang senggang, Ros sengaja memanfaatkan istirahat makan malamnya dengan duduk semeja. “Kau tidak keberatan aku duduk di sini.”

“Tidak.” Ia lalu menenggak bir langsung dari botol.

Ros menyantap roti lapis isinya dalam diam. Beberapa menit kemudian dia mengerutkan kening. Melalui sudut mata ia melirik. Laki-laki itu tidak bereaksi apa-apa. Cambang di janggutnya tumbuh semakin liar. “Maaf, tapi aku tidak bisa menelan makanan bila disuguhi wajah muram.”

“Aku akan pindah tempat duduk.”

Ros langsung mencegah cepat-cepat. “Tidak, Pak. Sebenarnya aku hanya ingin tahu apa masalahmu.”

Laki-laki itu berhenti bergerak.

“Aku tidak bermaksud lancang. Aku tadi hanya bercanda. Istirahat makan malamku tinggal lima menit.”

“Buat aku tertawa.”

Ros tidak jadi bangkit pergi. “Maaf, apa?”

“Buat aku tertawa lalu aku akan bercerita ada apa.”

“Aku tidak pandai melawak,” kata Ros.

Laki-laki itu tidak mengatakan apa-apa.

“Yah, mungkin lain kali.” Ros berkata demi kesopanan. Di tengah kalimatnya ia cegukan. Sepotong roti menyangkut di tenggorokannya. Ia mengeluarkan bunyi seperti tercekik dengan muka kaget. Laki-laki itu menatapnya, lalu tawanya meledak. Ros buru-buru menyahut botol air mineral dan meneguknya cepat.

“Kau sudah membuatku tertawa,” kata laki-laki itu. “Aku akan bercerita padamu. Besok. Pukul sebelas.”

***
SEKARANG pukul 11:05 malam. Laki-laki itu belum juga tampak. Seorang pelanggan lain datang. Ros segera mencatat pesanan. Ketika ia kembali dengan dua botol bir dan gelas dalam baki, di sudut sebelah selatan laki-laki itu duduk dan mengangkat tangan.

“Pesan apa, Pak?” tanya Ros dengan baki kosong.

“Waktumu.”

“Anda terlambat sepuluh menit.”

“Aku tahu. Dua botol bir tanpa sianida dan waktumu.”

Saat Ros kembali membawa pesanan dan duduk, mata laki-laki itu merah. Mungkin mengantuk atau habis menangis. Setelah menenggak dua gelas bir berturut-turut, laki-laki itu memulai cerita. “Aku tidak bisa tidur akhir-akhir ini. Sudah sekitar seminggu atau dua. Setiap kali tidur, aku selalu didatangi mimpi yang sama. Aku selalu didatangi Jedi. Istriku.”

Ros mengangguk.

“Ia suka sekali mengulang-ulang cerita mengenai satu bagian bab The History of Love. Nicole Krauss. Menurutku itu novel cengeng, tapi istriku suka. ‘Jadi begini, Tomas,’, begitu ia memulai kisah.”

Ia sedikit mengubah caranya berbicara.

Waktu itu Leo Gursky, maksudku, Litvinoff, atau aku lupa siapa, membikin sketsa perempuan telanjang yang duduk di bagian tengah kelas. Dosennya melongokkan kepala lalu mengangkat kertas milik laki-laki itu sambil berkata, ‘apa yang kalian lihat? Payudara atau papan Frisbee?’

‘Aku tidak tahu,’ jawabku.

‘Lalu dosen itu bilang, ‘arsir sedikit untuk memberi kesan berbayang.’

‘Apa kau mengenal Litvinoff, Jedi?’ tanyaku.

‘Tidak. Yang kumaksud di sini adalah kau jangan selalu bergoyang-goyang, Sayang, aku sedang menggambarmu!’

“Seperti itu.”

“Istrimu suka menggambar,” kata Ros kemudian.

“Membikin sketsa,” ralat Tomas.

Ros tidak tahu apa bedanya, jadi ia diam saja.

“Dia suka sekali membikin gambar wajahku. Saat akhir pekan, dia akan bangun pagi sekali. Pergi berjingkat tanpa suara mengambil buku gambar dan pensil di ruang perpustakaan. Lalu segera kembali ke tempat tidur. Saat aku masih tidur, ia tekun memindah figur wajahku dalam kertasnya.”

Ros mencoba mengamati wajah laki-laki di hadapannya. Menjelang 40 sepertinya 35 atau 38 tahun.

“Jedi selalu membungkuk. Punggungnya melengkung ke arah dalam dengan pandangan mata berjarak sepuluh senti dari permukaan kertas. Rambutnya menjuntai ke bagian samping. Tergerai lurus dan acak-acakan dengan bagian-bagian yang saling memilin. Ujung-ujungnya menyentuh kertas gambar. Biasanya aku akan sedikit membuka mata untuk mengintip. Aku selalu suka melihatnya dalam kondisi baru bangun tidur. Lalu aku akan kembali memejamkan mata. Menikmati suara gesekan permukaan ujung pensil di atas kertas. Tiupan. Jedi suka sekali menggosok bagian arsiran lalu meniupnya.”

Ros tidak tahu ke arah mana cerita laki-laki itu akan tertuju.

“Hasil gambar Jedi memang selalu jauh dari sempurna—ia sendiri selalu mengakuinya. ‘Kenapa hasil gambar kepalamu lebih terlihat seperti melon ketimbang bentuk kepala sungguhan!’” Tomas tertawa sambil kembali menuang bir. Ia menawari Ros. Ros menolak. “Kalau sudah tidak ingin mendengar ceritaku, kau bilang.”

“Tentu saja,” jawab Ros.

“Itu tentang Jedi. Kemudian seminggu atau dua minggu kemarin, aku selalu memimpikan bagian-bagian tersebut. Di hari pertama, mimpi itu terlihat begitu jelas, lebih panjang, dan memiliki akhir. Selanjutnya aku hanya melihat bagian-bagian yang kuceritakan itu hadir secara berulang-ulang. Semakin lama semakin tampak muram.” Tomas bersendawa kecil. “Di mana Jedi? Kau pasti ingin bertanya itu, kan?”

Ros mengangguk.

Tomas menggeleng mengusir mabuk.

“Hari pertama bermimpi, aku melihat Jedi sedang tekun menggambarku. Di tempat tidur. Matahari semakin meninggi. Sinarnya menembus jendela. Setitik keringat bertengger di ujung hidung. Aku berpikir, apa sebaiknya aku bangkit dan segera membuka jendela, mengganti udara? Tapi aku malah tetap berbaring sambil bertanya, ‘apa tukang korannya sudah datang?’
Jedi tidak menjawab. Ia mendongak. Tatapan matanya sayu.

Aku merasa seperti ada yang salah. Aku kembali bertanya, ‘apa ada yang salah, Yang?’
Jedi hanya tersenyum. Ia meletakkan papan gambar dan pensil ke atas meja. Katanya, ‘aku mau tidur’. Ia lalu menyusupkan tubuh tepat di sampingku. Maka aku tidak bisa berbuat apa-apa.”

Muka Tomas berkerut-kerut. Ros tidak bisa menjelaskan dengan tepat apa arti ekspresi yang sedang ia lihat sekarang.

“Kupikir ini hari Minggu, kami berhak bermalas-malasan lebih lama di tempat tidur. Tapi, lalu aku berpikir. Tanggal berapa sekarang? Hari apa sekarang? Hari Minggu? Benarkah ini hari Minggu? Hari Minggu tanggal berapa? Kalau tidak salah—lalu aku terbangun. Pintu kamarku digedor keras! Orang tua dan saudara-saudaraku. Aku tergeragap bangkit. Tengkukku kaku dan nyeri. Sesaat setelah menahan nyeri, aku menoleh. Sketsa yang dibikin Jedi bertebaran di atas tempat tidur. Sketsa bikinan dua hari lalu. Lalu aku sadar, hari Minggu ini adalah hari pemakaman istriku.”

Ros berusaha memberikan tatapan penuh simpati.

“Sebuah mobil sembrono dari arah depan menghantam mobil Jedi saat membelok ke sebuah jalan sempit. Ia baru saja pulang berbelanja dari supermarket. Kantung kertas di kursi depan tergencet moncong mobil penabrak! Isinya berhamburan ke segala arah!” Suara Tomas seperti tercekik. “Juga Jedi—tubuh Jedi ...”

Ros menelan ludah imajiner.

“Kembali ke kamar, aku mendengar ibuku berbisik lembut dari balik pintu, ‘Jedi akan segera diberangkatkan sebentar lagi, Tomas. Aku yakin kau pasti ingin bersamanya di saat-saat terakhir.’

’Aku akan keluar ... sebentar lagi,’ kataku dengan susah payah. Aku terlalu mabuk saat malam sebelumnya. Alkohol murahan itu meninggalkan efek tidak menyenangkan.

‘Tomas,’ ibuku kembali memanggil, ‘kuharap kau baik-baik saja.’”

Lalu Tomas diam lama. Kali ini ia tidak menuang bir dalam gelas tapi menenggak habis langsung dari botol... Ia meneteskan air mata yang dihapusnya cepat-cepat. Ia tersenyum, meski tampak sekali seperti dipaksakan. “Itu ceritaku. Aku sudah tidak punya utang cerita lagi kepadamu, ya?”

Ros tertawa.

Tomas diam sebentar. “Meski tidak seratus persen benar, tapi hidup sebenarnya hanyalah mengenai perkara kehilangan. Seorang bayi lahir di dunia dengan kehilangan rahim hangat yang telah melindungi selama sembilan bulan. Seorang anak yang telah lancar berjalan kehilangan uluran tangan orang dewasa sebagai penjaga keseimbangan. Laki-laki dan perempuan dewasa kehilangan masa sendirinya melalui pernikahan. Lalu, laki-laki dan perempuan dewasa yang menjadi orang tua dalam artian fisikal, tentu saja kehilangan kemudaan mereka. Lalu mereka akan kehilangan anak-anak mereka. Dan kehilangan diri mereka sendiri melalui kematian. Aku ... juga kehilangan Jedi melalui kematian.”

Ros tidak buru-buru menanggapi. Lalu katanya, “ya.”

“Kau setuju?”

“Kurang lebih.”

“Kau mau bercerita? Sebelum kembali bertugas?”

Kelopak mata Ros bergerak-gerak. Berpikir. “Sebulan lalu.” Ia memutuskan bercerita. “Aku kehilangan janinku. Usiaku 40 dan baru hamil dengan kondisi kurang baik. Aku terpeleset dan ia harus dikuret.”

Tomas memasang muka bersimpati.

“Tapi, aku baik-baik saja sekarang.” Ros tersenyum dan bangkit.

“Suamimu?”
“Oh, kami akan bercerai minggu depan. Ia tetap ingin punya anak. Dan, gadis usia 19 tahun yang ditemuinya di sebuah bar menurutnya lebih subur dan lebih bisa menghasilkan keturunan.”

Tomas tidak berkata apa-apa.

“Aku harus pergi.” Ros berbalik.

“Bu,” panggil Tomas, “terima kasih.”

Ros berhenti sejenak dan menoleh. “Hidup sebenarnya hanyalah mengenai perkara kehilangan.”

“Kukira begitu.”

“Kukira ini hanya mengenai cara pandang.” Ros berlalu.

Hari ini hari Kamis. Bar tidak begitu ramai. Tentu saja. Orang-orang masih harus bangun pagi untuk berangkat kerja esok harinya. Asap rokok membumbung tipis-tipis memenuhi ruangan. Pelanggan-pelanggan. Pesanan-pesanan bir. Cerita-cerita kehilangan. (*)

0 comments:

Posting Komentar

Copyright © 2010- | Viva | Kaffee Bitte | Desi Puspitasari | Daily | Portfolio