Jumat, 15 Maret 2013

Cerpen Majalah Femina Maret 2013: Gelas Kopi ke-124


Oleh: Desi Puspitasari

SEBELUMNYA, AKU TIDAK pernah mencintai laki-laki yang kusebut suamiku. Pernikahan kami terjadi karena alasan sederhana. Sejak bertemu di pusat senam ibu hamil, ibuku dan ibunya menjadi akrab dan berkeinginan menjodohkan kami. Ide yang sudah usang. Tapi, langkah awal keinginan mereka dikabulkan: aku terlahir sebagai perempuan dan dia laki-laki. 

Seperti sengaja diatur oleh orang tua kami, aku dan suamiku tumbuh bersama. Bersekolah di SD, SMP, dan SMA yang sama. Meski akhirnya kuliah dan bekerja di tempat berbeda. Saat punya pacar, aku bisa mengelak dan menolak dari kewajiban tersebut. Laki-laki itu waktu itu juga punya pacar. Tapi, ia tak sereaktif diriku. Mungkin ia juga menolak bila diharuskan menikah denganku, tapi sepertinya keengganannya terasa datar-datar saja. Laki-laki yang kalem. 

Hingga akhirnya kami putus dengan pacar masing-masing. Tuhan seperti sengaja melakukannya. Bila tidak, bagaimana kejadian tersebut bisa terjadi secara bersamaan?

Orang tua kami yang melihat celah kesempatan tersebut kembali bersemangat. Keinginan mereka untuk menjodohkan kami bagaimana caranya, bisa terwujud. “Percaya kami,” kata orang tuaku padaku, juga kata orang tuanya pada suamiku. “Kami telah mengenal keluarga masing-masing. Kami mengikuti perkembangan dan sudah mengenal sifat kalian. Kalian cocok. Percayalah, bila menikah, kalian akan menjadi pasangan yang saling mencintai, bahagia, dan awet selamanya. Tidakkah kalian setuju, pasangan suami-istri zaman dulu yang menikah karena dijodohkan lebih langgeng ketimbang pasangan suami istri jaman sekarang. Cinta itu bisa dipelajari dan ditumbuhkan.”

Menurutku kalimat-kalimat itu membosankan.

Namun, akhirnya kami menikah. Tinggal di rumah baru. Hanya berdua saja. Dua orang yang tidak saling mencintai, yang akhirnya disatukan oleh ikatan pernikahan, tinggal bersama di satu rumah. 

“Kita akan bisa menjadi sepasang teman baik, bukan?” tanya suamiku. Waktu itu kami sedang duduk bersebelahan. Kelelahan setelah menata rumah; mendorong-dorong almari, mengangkut ember, menguras kamar mandi, membersihkan dapur, mencuci pakaian dan lap kotor, menyiapkan tiang jemuran dan menjemur, menata kamar tidur, hingga akhirnya kasur. 

Aku tidak menjawab. 

SEBULAN KEMUDIAN mulai muncul permasalahan. Suamiku membuat masalah. Dia menyembunyikan puluhan sachet kopi instan milikku. Senjata rahasiaku. Bila tidak ditunjang penuh oleh kopi, maka aku tidak akan lancar menulis. Saat tengah malam, aku kelimpungan mencari kopi-kopi tersebut. Seluruh tempat di dapur aku bongkar dan tidak ada apa-apa. Satu jam kemudian aku menyerah. Duduk di depan laptop tanpa melakukan apa-apa. Otakku butuh pemantik kafein, tapi ia tidak mendapatkannya setetes pun. 

Keesokan pagi suamiku mengaku. Berterus terang bahwa ia yang menyembunyikan persediaan kopiku. “Kopi tidak bagus untuk kesehatanmu,” katanya penuh perhatian. Aku curiga ia bahkan telah membuangnya.

Saat siang aku membeli sepuluh renteng. Saat tengah malam rentengan itu kembali hilang. Saat pagi aku tidak mengatakan apa-apa. Ketika dia sedang berada di kantor, aku mengemas beberapa potong pakaian, memasukkan laptop, dan kamera saku ke dalam ransel. Tidak lupa dua kartu ATM untuk berjaga-jaga untuk sekadar membeli sarapan dan bercangkir-cangkir kopi. 

Hampir empat hari lamanya aku menginap di rumah satu sahabat perempuan terbaikku. Saat pagi aku mampir ke warung kopi. Menjelang siang hingga sore aku ngeloyor pergi ke taman kota atau perpustakaan untuk menyelesaikan tulisan. Lalu pulang. Aku dan sahabat perempuanku memasak dan makan malam bersama. Setelahnya, aku keluar, ke warung kopi 24 jam untuk melanjutkan tulisan. 

Tengah malam di hari keempat, suamiku datang mengetuk pintu dengan kuyu. Kelopak matanya sembap. Ada kantung mata di bagian bawah. Dia kurang tidur dan sepertinya stres berat. Ketika melihatku pertama kali, sejak hampir empat hari lalu, ia menubruk dan memelukku erat. 

Setelah permintaan maaf dan karena bujukan sahabat perempuanku, aku kembali pulang ke rumah. Saat berjalan keluar, suamiku menggantikan menggendong ransel. Aku berbalik dan berkata tanpa suara, ”Kau yang menelepon dia, kan!?” Sahabat perempuanku tersenyum sambil mengangkat bahu. Mimik mukanya polos seolah tidak tahu apa-apa.

Sejak kejadian itu, suamiku mengalah. Bahkan, ia mulai rajin bangun pukul satu dini hari. Memasak air dengan mengantuk. Menyiapkan gelas bertangkai. Membuatkanku segelas kopi. 

“Novelmu sudah sampai mana?” Pertanyaan yang diajukannya ketika meletakkan gelas di meja. Dia menunggu jawaban. Aku memilih bungkam. Dia mengangkat bahu dan menunduk mengecup keningku. Kembali tidur. Sejak saat itu ia tidak pernah bertanya lagi, ‘novelmu sampai mana.’ Ia hanya meletakkan gelas kopi dan mencium keningku. Kadang-kadang ditambahi dengan elusan di kepala. 



SUATU HARI, ketika sedang membersihkan dapur, aku menemukan sebuah kalender duduk mini. Tertera tanda silang kecil memenuhi setiap kolom tanggal. Aku menemui suamiku yang sedang merapikan rumput. Ia berhenti sebentar sambil mengusap peluh. “Itu kalender kopi, Sayang.’

Ia bahkan sudah mulai berani memanggilku ’Sayang.

“Aku sudah berniat akan membuatkanmu kopi tiap hari. Aku tidak ingin absen. Untuk itu aku selalu memberi tanda di kalender.”

Ada perasaan aneh yang menelusup halus ke dalam hati. Tapi, aku hanya diam. Berbalik masuk ke dalam rumah. Melanjutkan pekerjaanku sebelumnya. 

Beberapa bulan kemudian suamiku datang sambil membawa berita. “Aku harus ke luar kota untuk satu minggu.”

Aku mengangguk sambil menyuap makan malam. Hore! Itu berarti aku tidak perlu ketemu dia. Tidak melihat wajahnya. Bebas membikin bergelas-gelas kopi!

“Satu gelas kopi sehari sudah sangat cukup kan, Sayang?”

Bagaimana ia bisa membaca isi pikiranku?! Aku tidak mengangguk ataupun menggeleng. 

“Kau pasti ingin berkata dua,” lanjutnya, sambil tertawa.

Tapi, aku tidak mengatakan apa-apa. Karena aku mulai berpikir mengenai kebebasan bergadang. Dari sore bahkan hingga keesokan harinya. Tidur saat pagi, bangun siang, lalu kembali lembur menulis hingga larut. 

“Jangan bergadang, Sayang. Hargai tubuhmu dengan beristirahat.”

Aku memutuskan untuk tidak berpikir dan berkata apa-apa lagi dalam hati. 



DINI HARI PERTAMA, aku berpesta pora. Saat ini telah gelas kopi keempat. Aku menulis dengan lancar. Keheningan rumah, tanpa desah nafas teratur suamiku yang sedang tidur atau langkah kakinya saat ke toilet, ini menyenangkan. Bahkan ketika subuh, aku membikin cangkir kopi kelima. 

Dini hari kedua, aku berhenti termenung saat membuat gelas kopi keempat. Lamunanku terhenti saat ceret air mendesis berisik. Air sudah mendidih. 

Dini hari ketiga tanpa suamiku. Aku berhenti menulis. Melirik jam yang menempel di dinding. Pukul dua dini hari. Termangu. Aku mulai merasa ada sesuatu yang hilang. Mulai merasa ada sesuatu yang hilang. 

Saat dini hari keempat, aku tersentak bangun. Menurut jam di sudut monitor, aku telah tertidur selama setengah jam. Dengan posisi kepala beralas lengan di atas meja. Terdapat lipatan garis tidur di pipi sebelah kiri. Aku bangkit dan menuju dapur. Membuat segelas kopi. 

Aku meraih kalender kopi milik suamiku. Beberapa kolom tanggal terlihat kosong. Bayangan suamiku sibuk membikin kopi dengan mata setengah terpejam tiba-tiba muncul. Aku tahu, bangun saat dini merupakan siksaan berat untuknya. Tentu saja. Dia bekerja delapan hingga lima. Enam hari dalam seminggu. 

Aku mengembus napas. Aku baru tersadar, ia tak pernah marah dan menuntutku bangun pagi. Sebagai penulis nokturnal, aku masuk ke dalam selimut seiring dengan waktu suamiku bangun tidur untuk mandi dan berangkat kerja. 

Dini hari kelima. Aku tidak bisa menulis. Pikiranku kosong. Benakku terlalu banyak dipenuhi bayangan suamiku. Pukul dua. Tidak ada gelas kopi. Tidak ada kecupan di kening. Tidak ada elusan di kepala. Aku mengamati jarum penunjuk detik di jam dinding. Bergeser konstan. Tanpa sadar dan dengan setengah putus asa aku kembali terlelap di depan laptop.

Dini hari keenam. Aku kembali tidak bisa menulis. Ada perasaan aneh yang terasa sangat mengganggu. Aku rindu suamiku. Aku bangkit ke dapur. Merebus air untuk membikin kopi. Tapi, saat air mendidih aku malah memasukkan keping pasta kering. Setelah matang aku baru sadar bahwa tidak ada simpanan saus kemasan di dapur. Dan aku terlalu malas untuk membikin saus sendiri. 

Aku berpindah. Menonton televisi. Ada beberapa acara menarik, tapi aku tidak berselera menonton. Lalu aku melakukan banyak pekerjaan percuma hingga subuh. Tidak menulis sama sekali. Pukul enam aku keluar lari pagi. Setelah pulang dengan badan penuh keringat, aku mandi, sarapan, dan menelusup masuk ke dalam selimut. 

Aku rindu keberadaan suamiku. Kebersamaan itu, yang sering kuabaikan, telah menciptakan sejenis candu tersendiri. Aku membaca deretan pesan pendek darinya yang seringnya kubalas singkat: ‘ya’ dan ‘oke’. Pada pesan kesepuluh, aku jatuh tertidur. 

Dini hari ketujuh. Aku tahu, aku tidak akan bisa menulis sebelum bertemu dengannya. Sudah tidak dapat diteruskan. Tapi, aku tetap menyalakan laptop. Dan kembali terlelap di meja berbantal lengan. 

Antara sadar dan tidak, hidungku menghirup aroma kopi instan. Aku membuka mata. Ada segelas kopi dengan uap mengepul hangat di atas meja. Aku melirik jam di pojok monitor. Aku telah tertidur selama satu jam. Wah. 

Aku menoleh ke samping. Seluruh tubuhku terasa hangat. Laki-laki itu, suamiku, duduk

“Hai,” sapaku canggung.

Ia masih tersenyum. Sosok yang kurindukan selama beberapa hari ini sudah datang dan sedang tersenyum. “Aku baru saja pulang. Baru saja. Ada oleh-oleh di dalam tas. Tapi, kupikir kau tidak akan tertarik pada oleh-oleh.” Ia tertawa. “Jadi aku memutuskan untuk membuatkanmu kopi.”

Aku bangkit. Memeluknya erat. Pada gelas kopi ke-124, kalau tidak salah hitung, aku jatuh cinta pada laki-laki yang bernama suamiku. []


-- dimuat Femina No. 10/XLI * 9 - 15 Maret 2013 --

Copyright © 2010- | Viva | Kaffee Bitte | Desi Puspitasari | Daily | Portfolio