Mendokumentasi kegiatan sebenarnya sudah aku lakukan sejak mengikuti UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Pencak Silat di Gelanggang UGM. Memang tidak diwajibkan, tapi sebaiknya kami, para murid, mencatat gerakan senam dan jurus (jurus adalah gerakan senam yang disatupadukan) silat yang kami pelajari.
Kitab Pendekar
Gerakan senam berjumlah banyak sekali; menggeser kaki, telapak kaki, tumit, arah badan, sikutan, pukul swing, jab, tendangan A, tendangan B, tendang T, srekel, tangkisan, tebasan, dan masih banyak lainnya. Belum lagi gerakan jurus yang beberapanya merupakan rangkaian gerak senam.
Daya ingat seseorang sangat 'terbatas'. Memang betul kita bisa menyimpan banyak sekali memori, tapi ketika setiap tahun, setiap saat, setiap waktu, selalu ketambahan peristiwa baru, materi kenangan tak bisa serta merta mudah di-recall.
Begitu pula alasan mengapa sebaiknya mencatat gerakan senam dan jurus, agar lebih mudah memeriksa kembali ketika ada gerakan yang lupa dan salah. Seumpama pernah membaca cerita silat, kerap sekali diceritakan perkelahian antar pendekar demi memperebutkan sebuah kitab yang berisi jurus rahasia yang mematikan.
Nah, ketika mencatat segala gerakan senam dan jurus pencak silat, aku merasa seolah-olah sedang membikin catatan rahasia yang nantinya akan dijaga betul supaya tak jatuh ke tangan pendekar berwatak jahat.
Mengarsip Sebagai Kerja Personal
Kegiatan mengarsip ini sesungguhnya lebih bersifat personal dan untuk kepentingan diri sendiri. Maksudku, ketika ada tugas mencatat gerakan jurus dan senam (yang kemudian bisa kita lebarkan menjadi apa saja yang bahkan lebih luas ketimbang diary--catatan peristiwa sehari-hari), itu bukan untuk kepentingan mas pelatih, tapi lebih pada calon pendekar itu sendiri. Catatan atau dokumentasi akan memudahkan si pencatat melacak gerakannya atau memenuhi kebutuhan yang lain.
Saat menerima beasiswa keaktoran di Teater Garasi, kami, para peserta, juga diminta membikin catatan proses (bahkan untuk kepentingan pementasan, catatan proses latihan juga kerap dilakukan oleh para pelaku teater di Garasi).
Apakah guna catatan itu selain untuk kepentingan para peserta? Untuk menyusun ilmu teater secara sistematis. Semacam, kegiatan apa saja yang sudah dilakukan, seberapa berhasil, pada bagian mana sebuah latihan bisa dirombak, dilakukan kembali, atau diganti sama sekali.
Catatan akan memudahkan kita menelusuri masa lalu (duh, rasa kalimatku begitu fiksi sekali). Terlebih jika kamu pernah kuliah di jurusan eksak seperti aku di Fakultas Pertanian UGM yang harus taat mencatat treatment pada cawan petri bakteri tiap menit per menitnya, dan lain sebagainya. Catatan perlakuan itu sangat berguna untuk menghasilkan kesimpulan atau saat membuat produk, dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan kegiatan catat-mencatat ini, hari Kamis lalu, 19 November 2015, dunia sastra kita kehilangan sesosok sastrawan asal bumi Borneo, Korrie Layun Rampan. Sastrawan Korrie Layun Rampan terkenal sebagai sesosok arsiparis mandiri yang tekun setelah HB Jassin dan juga Pramoedya Ananta Toer.
H.B. Jassin sendiri pernah mengatakan bahwa semua karya sastra haruslah dikliping. Semua karya sastra ini harus disimpan. Tak hanya pada nama lama dan sudah senior, kegiatan kliping karya sastra termasuk juga pada nama-nama baru penulis yang baru muncul. Karena, semua kebesaran nama para sastrawan senior itu semuanya dimulai dari tulisan-tulisan mula-mula yang awalnya siapapun tak ada yang 'tahu' terkecuali oleh penulisnya sendiri.
Kerja Dokumentasi Kliping Sastra
Situs Kliping Sastra |
Aku adalah penikmat setia kerja dokumentasi situs Kliping Sastra. Kerja mereka memang belum layak disandingkan dengan apa yang telah dikerjakan para senior sastra seperti H.B. Jassin dan Korrie Layun Rampan, tentu saja. Tulisanku ini memang tidak untuk membandingkan. Namun usaha tim Kliping Sastra mengarsip cerpen koran patut diapreasiasi.
Selain cerpen koran paling anyar setiap minggu, kerja 'diam' tim Kliping Sastra ternyata juga merambah cerpen lawas. Beberapa yang telah aku baca, Kliping Sastra telah mengkliping cerpen-cerpen koran tahun 80 dan 90-an.
Dua cerpen koran tulisan Korrie Layun Rampan yang dimuat di Suara Karya tahun 1983 dan Jawa Pos pada 1991 pun berhasil dikliping oleh Kliping Sastra.
Wanita penjaga warung menatap lurus ke wajah lelaki itu. Di kejauhan tirai gerimis memutih membuat kota jadi kelabu. Ke arah luasan sungai, gerimis telah berubah menjadi hujan yang menyirami jung-jung dan tongkang yang berlayar dengan lela.
“Memang keparat. Lelaki keparat,” terdengar suara lelaki itu seperti menumpah. “Kawan yang suka menggunting dalam lipatan. Mariyah dan Rosa jadi korban!” (Matahari Akhir Pebruari, Suara Karya, 1983 - Korrie Layun Rampan)
Memang waktu tak pernah tua. Selalu muda, meskipun senja bertarung berebut dengan kelam. Waktu selalu belia.
Yang tua hanya usia, badan, atau pohon, tidak pada sungai, lautan, tanah, atau gunung. Yang tua hanya hitungan, tidak pada musim dan cuaca. Bahkan, tidak pada cahaya atau bentangan cakrawala.
“Kau memang Don Juan, sejak pertama aku mengenalmu, kau memang pemburu….” (Meria, Jawa pos, 1991 - Korrie Layun Rampan)
Kliping sastra cerpen lawas dan juga cerpen baru ini selain bisa digunakan sebagai rekam jejak kepengarangan atau karya penulis, tentu juga bisa digunakan sebagai wadah pembelajaran. Utamanya di era digital seperti sekarang, ketika untuk mengakses kerja dokumentasi Kliping Sastra sudah bisa dilakukan hanya dengan menggeser jari di layar gawai. [dps]
0 comments:
Posting Komentar