Selasa, 08 Juni 2010

Little Susie - Cerpen Balairung UGM 2004

WASPADALAH!

Anak-anak kita sedang berada dalam bahaya. 4 pria kabur dari rumah sakit jiwa.
Mereka menculik anak-anak kecil untuk dibunuh. Telah ada 4 korban.
Tolong jaga anak-anak dengan cermat. Karena kita semua mencintai anak-anak kita.

*Sheriff



Daniel Fertaloza sedang menempel selebaran-selebaran di tembok-tembok gedung  di kota kecilnya. Selebaran mengenai empat orang sakit jiwa yang kabur dari tempat mereka dirawat. Mereka ini berkeliaran di kota-kota dan menculik anak-anak untuk dibunuh.

Daniel mengusap peluh lelahnya. Ia berumur delapan belas dengan rambut cokelat yang tergerai lepas sebahu dan mata kelabu. Kini ia sedang bekerja sebagai pekerja sosial di kantor sherrif. Setelah selebaran terakhir tertempel, ia memutar pinggang hingga terdengar suara bergemerutuk pelan. Ia menoleh dan melihat-lihat keadaan di sekitarnya. Sore yang cerah. Beberapa mobil berdebu melintas di jalan.

Sambil menerobos kerumunan orang-orang yang berjalan lalu-lalang, ia menghampiri empat gadis kecil yang sedang duduk bercakap-cakap sambil menggerombol di sebuah sudut sebuah toko.

“Kenapa kalian tidak segera bergegas pulang ke rumah? Hari akan segera gelap!”

“Hai, Daniel!” Margareth menyapanya. Dia berusia enam tahun. “Ini masih terang! Ini masih siang!”

“Magy, Daniel benar.” Erlain menimpali cepat. Mereka teman sekelas. “Walaupun masih terang, langit sebentar lagi akan gelap.”

“Yep. Kalau langit sudah gelap, monster-monster akan keluar dari dalam gua dan mereka akan menangkap kita. Untuk dibunuh! Untuk dimakan!” Margery ikut menambahi. Dia kakak perempuan Margaret. “Mama pernah memberi tahu kita tentang itu.”

Mendengar cerita itu, mata Margareth yang kecil membulat ketakutan. Erlain meremas-remas ujung gaunnya.

“Tidak ada gua di kota ini!” Sebuah suara kecil tiba-tiba menyela. Ketiga anak tadi dan Daniel menoleh ke arah Susie Bazel. Matanya yang berwarna gelap menatap tajam. Dia berumur lima tahun dengan rambut sebahu berwarna cokelat kusam. ”Dan tidak ada monster!”

“Susie yang bodoh!” erang Margery kesal. Ia merasa tidak senang karena anak kecil itu menyangkal perkataannya. Ia berdiri lalu menarik tangannya adiknya. “Maggy, kita pulang sekarang! Ayo, Erlain!”

Kedua anak itu saling berpandangan. Lalu melihat ke arah Susie, dan akhirnya mereka berdiri mengikuti ajakan Margery.

Adios, Daniel. Terima kasih.” Erlain berkata sungguh-sungguh. Ia menatap Susie sekali lagi dengan ragu-ragu dan akhirnya mereka bertiga berlalu. Daniel kini ganti menatap Susie.

“Susie Bazel. Kau juga harus segera pulang. Hari akan gelap.”

“Tidak,” katanya pelan.

“Mengapa?”

“Susie tidak punya rumah yang nyaman.”

“Gadis malang.”

“Mama Shirley sangat jahat! Dia selalu memukul dan menendang Susie. Dia benci Susie! Dia benci Susie!” rengeknya perlahan. Air matanya mengalir turun.

Danial berjongkok dan mengusap perlahan air mata itu. “Kau bisa memberi tahu tentang dia pada papa.”

“Papa tidak pernah pulang.”

“Tapi ....” Daniel menghela napas. “Bagaimanapun juga kau harus kembali pulang sekarang. Lihat, kau sudah sendirian sekarang.”

Susie kecil hanya melihat dan menatap ke arah Daniel tajam-tajam. “Jangan menatapku seperti itu, Bocah.” Daniel tertawa. “Tidak takutkah kau pada monster-monster yang suka menculik anak kecil?”

“Tidak. Monster hanya ada dalam buku cerita.”

Daniel kembali menghela napas. “Hm .... Dengarkan aku, Susie Bazel. Aku akan berkata benar. Kau benar, tidak ada monster di kota ini. Tapi ada orang-orang yang suka membunuh anak-anak.”

“Mereka penyihir?”

“Siapa?”

“Orang-orang. Seperti yang kau bilang, Daniel.”

“Bukan. Mereka bukan penyihir. Mereka adalah orang sakit jiwa.” Daniel mencengkam bahu Susie. “Ayo pulang! Kau dalam bahaya jika di sini terus. Berjanjilah padaku!”

Susie diam sejenak. Lalu ia berkata,” Baiklah. Aku pulang. Karena kau adalah temanku, Daniel.”

Si!” Daniel berdiri.

Adios, Daniel!” Susie tersenyum lalu berlari meninggalkan Daniel yang melambaikan tangan kepadanya. Ia terus berlari sampai ia yakin Daniel tidak dapat melihatnya lagi.

Susie membelok ke sebuah gang kecil yang gelap dan berhenti berlari. Ia kembali berjalan ke mulut gang. Dengan hati-hati ia melongokkan kepala. Mencari sosok Daniel. Setelah yakin temannya itu telah pergi, dengan tenang ia berjalan keluar. Ia bersenandung perlahan. Mulutnya yang kecil bergerak-gerak pelan.

Hari telah malam. Lampu-lampu di jalan serta lampu-lampu toko telah menyala benderang. Sesekali mobil tua berwarna hitam mengkilap melaju kencang di jalanan. Beberapa orang dalam pakaian hangatnya melintas di trotoar dengan langkah tergesa.

Tiba-tiba seseorang dalam pakaian badut berwarna-warni berdiri di hadapannya. Dan menyodorkan permen lolipop merah berukuran besar. Susie  berjalan mundur saking kagetnya. Badut itu mulai tertawa. “Kau gadis beruntung, Bidadari! Kau diundang untuk menghadiri pesta!”

Susie yang sudah mampu menguasai rasa terkejutnya segera merebut permen dengan kasar. “Tidak ada yang berulang tahun!”

“Pesta ulang tahun!” Badut itu mulai tertawa sambil membuat gerakan-gerakan lucu. “Suzanna Worley kini sedang merayakan ulang tahunnya dalam sepi. Ia memintaku untuk mencarikan teman untuknya.”

Susie mulai tertarik. “Banyak kue?” tanyanya malu-malu.

“Tentu saja ... kalau kau ikut denganku.” Badut itu menyodorkan lengannya.

“Tapi ....” Susie ragu. “Tidak akan lama bukan?”

“Tentu tidak, Sayang. Kita akan meniup lilin, bernyanyi, makan, dan setelah itu badut Stanley akan mengantarmu pulang.” Badut itu tertawa lagi. “Ayo!”

“Ba ... baiklah.” Susie menyahut gandengan badut tersebut dan berjalan menuju ke sebuah mobil hitam ringsek yang diparkir di tepi jalan. Setelah ia masuk dan duduk, mobil itu mulai berjalan dengan kecepatan tinggi dan mengeluarkan bunyi berisik.

Susie menatap orang-orang yang ada di dalam mobil. Mereka berjumlah empat orang. Dua orang bermuka kasar dengan berewok lebat duduk di bagian depan. Dua orang lainnya, salah satunya adalah si badut, duduk mengapit dirinya. Mereka semua duduk tegang tanpa berkata-kata.

“Masih lama lagi?” tanya Susie. Ia mulai bosan. Permennya telah menipis. Ia menatap ke arah luar jendela. Gelap dan mendung.

“Kalau kau duduk tenang, kita akan segera sampai,” kata si badut.

Susie menoleh ke arahnya. “Kau tidak kepanasan?” Badut itu menggeleng. “Kau aneh!” katanya lagi sambil tertawa.

Orang yang mengemudikan mobil batuk keras. Lalu berteriak. “Kalau bocah itu ngomong terus, kurobek mulutnya!” Susie melonjak terkejut dan mulai merasa takut. Ia segera menghentikan tawanya.

Tak lama, mobil itu berhenti di tengah kegelapan. Keempat orang segera keluar dengan kasar. Badut itu menarik Susie keluar dari mobil, lalu menyeretnya menuju rumah yang gelap. Rumah tua itu dikelilingi beratus-ratus tanaman yang tampak melambai-lambai menyeramkan di tengah kegelapan.

“Tak ada pesta?” tanya Susie.

Laki-laki berberewok lebat itu menyentakkan tangan Susie dari si badut. Ia menyeret masuk gadis kecil itu. Rumah yang berbau apak. Susie mengikuti laki-laki itu menaiki tangga menuju ke sebuah ruangan suram dengan langkah terjungkal-jungkal. Ia terisak-isak takut.

“Dengar!” Laki-laki itu mencengkam bahu Susie erat sambil memutar kunci pada sebuah pintu ruangan gelap. “Tak ada pesta! Tak ada kue! Tak ada apa-apa!” Laki-laki itu mendekatkan mukanya ke arah Susie. Ia menyeringai. “Yang ada ... kau akan mati!” Laki-laki itu membuka ruangan dan mendorong tubuh Susie dengan kasar. Setelah itu ia menutup dan mengunci kembali ruangan itu dan kemudian ia beranjak pergi.

Keesokan harinya, matahati pagi yang panas menyorot masuk dengan tajam melalui kisi-kisi terali besi di jendela ruangan tempat Susie Bazel yang kini mulai merengek kesakitan karena kerasnya lantai tempat ia tidur semalam. Ia memandang sekelilingnya dengan mata ketakutan. Di ruangan suram itu hanya ada sebuah meja kecil yang juga tampak suram terletak di pojok ruangan. Terdapat sebuah jendela berterali besi berjarak satu setengah meter dari lantai.

Seperti tersadar Susie meloncat berdiri dan berlari ke arah pintu dan berteriak-teriak tak karuan. Meminta agar ia dikeluarkan dari ruangan itu. Tapi tak ada jawaban. Suasana di luar tetap hening. Merasa usahanya tak berhasil ia mulai mengisak perlahan. Ia mundur menjauhi pintu itu karena merasa takut. Tiba-tiba sebuah ide melintas di kepalanya. Ia segera mengusap air matanya. Dengan sekuat tenaga, ia mengangkat meja kecil yang terletak di sudut ruangan, kemudian diletakkannya tepat di bawah jendela berterali besi. Ia menaiki meja kecil itu sambil berjinjit dan berusaha keras melongokkan kepalanya untuk dapat melihat keluar.

Di luar beratus-ratus tanaman jagung yang mulai menguning terhampar luas di ladang yang mengelilingi rumah itu. Daun-daunnya mengangguk pelan ditiup angin. Seseorang berpakaian gelap dengan memakai sebuah topi tentara kumuh tampak membungkuk-bungkuk di tengah hamparan tanaman-tanaman jagung itu. Susie mengenal orang itu.

“JACK!” Teriak Susie sekeras-kerasnya. “Jack Potter! TOLONG!!” teriaknya sekali lagi. Ia mencoba terus memanggil tetapi orang tua itu tak menoleh sesekali. Ia menegakkan tubuhnya kemudian melangkah pergi dengan membawa karung yang nampak penuh.

“Jack!” teriak Susie sekali lagi dengan putus asa. Tapi Jack masih terus berjalan menjauh. Susie menghembuskan napasnya berat. Ia kembali mengisak sambil menuruni meja itu lalu duduk perlahan di sudut ruangan dengan lemas. Sesekali ia mengusap air matanya dengan tangannya yang kotor.

Di antara suara isak tangis tiba-tiba terdengar suara patahan kayu dan suara barang terjatuh. Susie menghentikan tangisnya. Ia melongokkan kepala ke bawah meja dan meraih sebuah kotak musik yang tergeletak miring. Di tutup atas kotak musik itu terdapat sebuah ukiran inisial nama. Susie tahu huruf itu; SW.

“Suzanna Worley?” kata Susie lirih. Dia membuka kotak kecil itu. Di dalamnya terdapat dua patung kecil, dua anak kecil berciuman. Tangannya yang kecil mengusap topi patung anak kecil itu. “Darah?” katanya lirih. Kemudian diputarnya kunci kotak untuk menghidupkan kotak musik itu. Kotak musik itumulai berbunyi berdenting-denting. Kedua bonek kecil mulai berputar-putar. Susie dengan pandangan mata kosong bergumam mengikuti suara kotak musik dengan suara lirih. “Hm ... hm ... hm ... la ... la .. laa ... laaa ....”

Cklek ....

Terdengar suara kunci diputar. Seperti tersadar, Susie segera menutup kotak musik  itu dan diletakkan kembali di bawah meja. Seorang laki-laki yang semalam menyamar menjadi badut melangkah masuk ke ruangan sambil membawa baki berisi sebuah roti kering dan segelas air. Di wajahnya tampak goresan panjang berwarna hitam. Wajahnya tampak kuyu. Rambut panjangnya yang berwarna cokelat kusam mulai tampak memutih. Ia membungkuk dan meletakkan baki yang dibawanya di hadapan Susie. “Makanlah!”

“Kau akan membunuhku?” tanya Susie dengan suara kecilnya.

Laki-laki itu tampak terkejut sejenak, lalu ia merasa tenang kembali. “Hm,” jawabnya singkat. “Kau tahu?”

“Temanmu yang berewokan mengatakan aku akan mati,”jawab Susie. “Kalian pembunuh?”

“Ya!”

“Temanku Daniel yang mengatakannya!”

“Lalu?”

“Kau orang gila yang kabur dari rumah sakit jiwa!”

“Ya! Dari mana kau ....”

“Temanku Daniel yang mengatakannya!” Susie memeluk kedua kakinya sambil tetap bersandar di tembok. “Kau jahat!”

Laki-laki itu tersenyum dan berjongkok di hadapan Susie. “He! Anak sok tahu! Aku tidak membunuh untuk bersenang-senang! Tapi aku membunuh untuk balas dendam!” katanya dengan suara serak. Lalu ia terdiam. Dengan tiba-tiba wajahnya memucat dan badannya bergetar dengan hebat. Mukanya mengernyit-ngernyit seperti menahan sakit. “Aku membalas dendam pada mereka! Sekelompok pasukan rahasia milik pemerintah menculik anak-anak kami. Waktu itu Julie baru berumur empat tahun.” Laki-laki itu mengurut-urut keningnya karena sedih. “Mereka membedah otaknya untuk dipelajari. Setelah itu rongga kepalanya yang kosong diganti dengan sebuah mesin. Tidakkk!!!” jeritnya dengan suara geram. Ia bergetar semakin hebat. Sesekali tangannya menghentak-hentak ke arah samping. Ia lalu berdiri sambil terus berteriak-teriak. “Tidakk!!”

Dengan berlari-lari seorang lagi masuk ke dalam ruangan itu. Ia segera menyuntikkan cairan berwarna kekuningan ke lengan temannya yang menjerit-jerit itu. Sejenak terdengar suara menggelegak, kemudian laki-laki yang menjerit itu terkulai lemas. Sambil memapah temannya keluar, laki-laki itu segera menutup dan mengunci ruangan Susie kembali.

Susie terdiam sejenak. Setelah itu ia segera meraih roti kering yang ada di baki dan dimakannya dengan rakus.

***

Sore hari, ketika matahari berwarna oranye keemasan dan bau hangat tumpukan jerami kering mulai tercium, Daniel menghentikan dan menyandarkan sepedanya di depan sebuah rumah kayu yang berada di samping ladang jagung. Ia segera masuk ke dalam rumah itu. Seorang laki-laki tua mengenakan pakaian berwarna gelap sedang duduk sambil membungkuk, membersihkan senapan tuanya.

“Hai, Jack!” sapa Daniel. Laki-laki tua itu tidak menoleh. Daniel menepuk bahunya dan baru ia mendongakkan kepalanya. “Empat kilo kentang dan tiga kilo jagung!” teriak Daniel dengan mengeraskan suaranya. Ia menyodorkan karung kecil yang dibawanya.

Potter meletakkan senapannya di dinding kayu lalu ia menerima karung itu. Dengan suara besar dan serak ia berkata, “Jangan sekali-kali kau padaku dengan suara lirih, Fertaloz!” Daniel tersenyum malu. “Maaf!”

“Mana si bandel Susie?” tanya Potter sambil menimbang kentang dan jagung. “Biasanya ia selalu bersamamu!”

Daniel tidak langsung menjawab. Lebih dahulu ia menuangkan kopi dari cerek besi ke dalam gelas dan diserahkannya ke Potter. Setelah itu ia segera memasukkan kentang yang ditimbang ke dalam karung. “Tidak tahu! Ia tidak menemuiku hari ini! Mungkin ibu tirinya sedang menghukumnya!” jawabnya. Ia lalu memasukkan jagung yang telah ditimbang ke dalam karungnya.

Potter bediri dan meletakkan gelas kopinya di meja dan segera ia duduk di kursi malam sambil mulai menyalakan cerutunya. Lalu dihisapnya. “Ibumu apa masih gemuk saja? Ia semakin mirip dengan gajah!” Potter tertawa.  Daniel hanya mengangguk mengiyakan sambil tersenyum kecut. “He, Fertaloz! Kau masih merawat palomino tua milik mendiang ayahmu?”

“Tidak lagi, Potter!” jawab Daniel dengan suara dikeraskan. “Palomino itu sudah mati tiga tahun lalu! Aku telah mengatakan padamu ratusan kali!”

“Ya, ya!” Potter kembali tertawa. “Palomino itu hebat di masa mudanya. Ia berkali-kali memenangkan kejuaraan.”



Susie kembali memanjat meja kecil itu. Ia melihat langit di luar tampak berwarna hitam dan gelap. Tak satu bintang pun yang tampak, kecuali satu bintang redup dan suram di balik awan. Daun-daun tanaman jagung yang tampak hitam melambai-lambai menyeramkan. Cahaya bulan malam menyusup masuk ke ruangan yang tampak remang itu. Berkali-kali ia menoleh ke arah pintu. Dan berkali-kali pula ia mendengar sesuatu diseret dengan suara berdenting-denting. Ia juga menangkap kata pisau diucapkan ketika salah seorang laki-laki itu bergumam ketika melewati ruangannya. Seketika itu hatinya bergetar dan terasa dingin karena rasa takutnya. Angin semakin bertiup kencang dan daun-daun tanaman jagung yang berwarna hitam semakin bergoyang-goyang mengerikan.

Jantung Susie semakin berdebar kencang ketika ia mendengar suara kunci pintu diputar. Seseorang dengan muka ditutup kain dan mengenakan celemek biru masuk ke dalam ruangan. Didorong perasaan ngerinya, Susie menjerit-jerit ketakutan ketika orang itu mendekatinya. Dengan mulut terbungkam dan tubuh yang meronta-ronta, ia diseret keluar dari ruangan.

Di tengah ruangan yang remang-remang terdapat sebuah tempat tidur berkaki rendah. Di sampingnya terdapat seperangkat peralatan operasi. Beberapa gunting yang telah berkarat dan sebuah pisau daging yang besar. Susie Bazel segera dibaringkan, kedua tangan dan kakinya diikat kuat-kuat kemudian kedua matanya ditutup erat-erat dengan sebuah perban tua yang warnanya telah menguning.

Jantung Susie berdetak kencang dan terasa semakin miris ketika ia mendengar suara dentingan pisau yang diadu. Ia dapat mendengar suara mendesir ketika pisau daging itu menghujam keras membelah udara, mengarah tepat di kepalanya.



Si tua Jack Potter tergagap. Ia tersentak bangun dari tidurnya dengan rasa terkejut. Hatinya seperti mendengar suara jeritan kesakitan. Ia tercenung sejenak dan kemudian ia kembali tidur dengan perasaan tidak nyaman.

Keesokan paginya, Daniel mengangkat telepon yang berdering di dekat mejanya. Ia  dapat mendengar suara si tua Jack Potter yang bergemetar ketakutan. Seketika itu wajah Daniel memucat. Ia segera menutup telepon dan segera berlari keluar dan mengendarai sepedanya menuju ke rumah Susie.

Rumah kecil itu tampak suram. Catnya banyak yang mengelupas. Setelah memarkir sepedanya, Daniel segera berlari menaiki tangga dan masuk ke dalam rumah itu. Ia tidak dapat menemukan ayah Susie di dalam rumah itu, tapi ia melihat ibu tiri Susie sedang tidur di sofa sambil menceracau perlahan dan berbau alkohol. Ia segera berlari menuju ke beranda di belakang rumah dan menemui kakek Susie yang sedang duduk di kursi rodanya sambil menyemproti tanaman-tanaman layu miliknya. “Kakek!” sapa Daniel dengan napas terengah-engah.

Kakek itu mendongakkan kepalanya. “Siapa itu?” Ia memicingkan matanya. “Oh kau ... kau ... Daniel!” katanya sambil mengerutkan keningnya, berusaha mengingat-ingat.

“Ya, Kakek!” Daniel duduk berlutut di hadapannya. “Aku ingin mengatakan sesuatu.” Ia mengatur napasnya. “Susie telah ....”

“Ah, ya! Susie wanita gila itu!” potong kakek geram. “Wanita itu tak pantas menjadi istri dan menggantikan anakku yang telah meninggal! Ia tak pernah merawatku seperti anakku yang merawatku!”

“Kakek!” Daniel menghela napas. “Susie bukan nama wanita jahat itu. Susie adalah cucu kakek. Dan sekarang ia telah meninggal,” kata Daniel perlahan.

“Tentu saja! Anakku telah meninggal. Dan wanita jahat itu menggantikan kedudukan anakku dengan mengawini ayah Susie!”

Daniel menghela napasnya berat. Ia bangkit berdiri dan segera keluar meninggalkan kakek itu sendiri dengan tanaman-tanamannya. Ia kembali mengendarai sepedanya menuju ke pemakaman tua di tepi kota

Ia mendapati Jack Potter sedang menimbun dua makam baru dengan tanah. Daniel menjatuhkan begitu saja sepedanya dan segera menuju ke makam dengan langkah kosong. Ia lalu duduk terpuruk di dekat Jack Potter yang sedang mengusap keringatnya.

“Ia dibunuh?” tanya Daniel lirih.

“Tidak! Tapi dibunuh oleh ....”

“Orang-orang berpenyakit jiwa itu?”

Jack Potter mengangguk prihatin. “Kau tahu, Fertaloz! Susie dibunuh oleh orang-orang gila itu!”

Daniel menunduk. Ia menarik napas dalam sambil memejamkan matanya. Melihat makam itu membuatnya sedih karena mengingatkan semua hal yang terjadi. Wajahnya memerah dan air matanya mengalir turun. Dengan perlahan Daniel merasakan sebuah tepukan lembut di bahunya.

Baiklah, aku pulang. Karena kau temanku, Daniel. Adios, Daniel! []














Cerita "Little Susie" ini (bersama satu cerita lagi, aku lupa judulnya) terpilih menjadi Cerpen Terpilih Balairung UGM, dan masuk dalam Kumpulan Cerpen Balairung UGM 2003 & 2004, dan mengantarkan aku mendapat penghargaan Cerpenis Terpilih Balairung 2004.

Copyright © 2010- | Viva | Kaffee Bitte | Desi Puspitasari | Daily | Portfolio