Dear, Teman-teman...
Mulai hari ini aku mengunggah cerita bersambung di blog ini. Ceritanya berjudul Hari Bandel. Ini cerita baru, meski idenya sudah lahir sejak lama. Aku akan mengunggah dengan rutin. Bila Teman-teman mengikuti, cek berkala postingan cerbung Hari Bandel di blog ini, ya.
Silakan teman-teman membaca. Semoga menjadi cerita yang menyenangkan, menarik, dan memberi 'sesuatu' bagi kamu.
Next, cerber ini memiliki kemungkinan besar untuk diterbitkan menjadi satu novel utuh. Tapi, itu nantilah. Sekarang, please enjoy. 😊
SATU
Mulai hari ini aku mengunggah cerita bersambung di blog ini. Ceritanya berjudul Hari Bandel. Ini cerita baru, meski idenya sudah lahir sejak lama. Aku akan mengunggah dengan rutin. Bila Teman-teman mengikuti, cek berkala postingan cerbung Hari Bandel di blog ini, ya.
Silakan teman-teman membaca. Semoga menjadi cerita yang menyenangkan, menarik, dan memberi 'sesuatu' bagi kamu.
Next, cerber ini memiliki kemungkinan besar untuk diterbitkan menjadi satu novel utuh. Tapi, itu nantilah. Sekarang, please enjoy. 😊
***
SATU
Bertemu Haeli Sessin
Mulut Lala Corbijn terbuka lebar saat mendengar cerita Haeli Sessin. "Hari Bandel?"
”Aku enggak shedang bercanda. Hari Bandel shungguh ada di deshaku. Anda belum pernah ke Blatt Hav1?“
Saat berbicara, lidah Haeli menempel di langit-langit mulut. Sehingga huruf ’s‘-nya menjadi agak tidak jelas diucapkan dan didengar, terdengar sedikit mendesis dan cedal. Supaya tidak menganggu pembaca, Lala Corbijn akan menulis di sini dengan ejaan normal (selama membaca cerita ini, jangan lupa bayangkan suara 's' mendesis dan sedikit cedal di setiap dialog Haeli, ya)
”Baru kali ini aku mendengar Blatt Hav,“ kata Lala.
”Desa kecil di Pulau Billow2, Bu. Beberapa jam perjalanan naik mobil dari By. Agak terpencil, sih, jadi wajar kalau kurang terkenal dan enggak banyak orang tahu.”
“Jadi, pulau... apa itu tadi? Ahh, desa Blatt Hav apa seperti Karimun Jawa di Indonesia?”
Kening Haeli berkerut lalu mengangkat bahu. ”Belum pernah dengar Karimun Jawa.“
”Pulau kecil dikelilingi laut dan pantai. Enam jam perjalanan menyeberang laut dengan kapal feri. Listrik hanya menyala saat malam, mulai pukul enam sore sampai enam pagi.“
”Oooh...," Haeli tersenyum, lalu menggeleng. "Desaku enggak separah itu. Listriknya sudah menyala sepanjang hari, cuma enggak ada televisi saja. Bukan karena enggak mampu beli, tapi memang kami enggak suka menonton. Acara televisi banyak yang sampah—buat apa melihat acara yang enggak ngebikin kita jadi lebih pintar. Ya, nggak, Bu?"
Kepala Lala miring-miring, tanda ia berpikir lalu menyetujui perkataan si gadis perempuan di depannya.
"Lagipula, main air, memancing dan membakar ikan di pulau jauh lebih seru ketimbang duduk menonton televisi berjam-jam.“
Kepala Lala miring-miring, tanda ia berpikir lalu menyetujui perkataan si gadis perempuan di depannya.
"Lagipula, main air, memancing dan membakar ikan di pulau jauh lebih seru ketimbang duduk menonton televisi berjam-jam.“
Ya. Dan, Lala masih saja terkejut-kejut. Kagetnya bukan untuk tidak ada televisi di Blatt Hav, tapi ... Hari Bandel.
Kepalanya masih miring-miring mencoba mencerna dan mempercayai penjelasan tentang Hari Bandel dari Haeli Saessin.
Kepalanya masih miring-miring mencoba mencerna dan mempercayai penjelasan tentang Hari Bandel dari Haeli Saessin.
Agak aneh mendengar penjelasan ini, ya? Bagaimana bisa bandel tapi malah lebih mengesankan ramah? Tapi yah begitulah yang dirasakan Lala Corbijn saat hari menjelang gelap tadi.
Gadis itu mengenakan jaket warna merah dan putih jenis kalem.
![]() |
gambar hanya ilustrasi semata |
Gadis itu buru-buru membukakan pintu pagar dan menawarkan bantuan membawa kantong kertas belanja.
Lala bilang tidak usah dan terima kasih, namun gadis itu memaksa.
”Aku bukan orang jahat, Bu Corbjin. Aku membaca buku-bukumu dan menyukai tulisan-tulisanmu.“
Setelah masuk rumah, Lala menyimpan tas belanjaan dan menyajikan segelas es teh.
Gadis itu memperkenalkan diri, namanya Haeli Saessin. Haeli kini sudah kuliah tingkat akhir. Sekarang ia sedang liburan pergantian semester. Ia menghabiskan waktu luang tersebut dengan berkunjung dan menginap di rumah paman dan bibinya yang sekota dengan Lala.
Gadis itu sengaja menemui Lala karena ingin menceritakan pengalamannya. Kalau Lala Corbijn tak berkeberatan, cerita itu bisa ditulisnya menjadi novel.
Gadis itu memperkenalkan diri, namanya Haeli Saessin. Haeli kini sudah kuliah tingkat akhir. Sekarang ia sedang liburan pergantian semester. Ia menghabiskan waktu luang tersebut dengan berkunjung dan menginap di rumah paman dan bibinya yang sekota dengan Lala.
Gadis itu sengaja menemui Lala karena ingin menceritakan pengalamannya. Kalau Lala Corbijn tak berkeberatan, cerita itu bisa ditulisnya menjadi novel.
”Kok bisa kamu kepikiran untuk menemuiku?“ tanya Lala.
”Aku pernah membaca bukumu, Bu Corbjin. Apa, sih yaa, judulnya...? Aku lupa, deh. Pokoknya tentang remaja yang ingin jadi tukang pos tapi dilarang orangtuanya. ’Tukang pos itu bukan pekerjaan mentereng!’ kata si orangtua. Padahal menurut si bocah, tukang pos itu pekerjaan keren. Tukang pos bisa memegang amplop dan kartu pos dari kota, negara, dan bahkan benua lain. Ia juga kurir penting mengantar berita tentang kabar menarik, kisah perjalanan, dan juga rindu.“
Lala memperhatikan penjelasan gadis muda di depannya dengan serius.
”Melalui tokohmu, aku tahu kalau kamu, Bu Corbijn, sedang ingin bilang bahwa enggak ada yang salah dengan segala jenis cita-cita saat kita dewasa. Bahwa cita-cita enggak harus mentereng dan muluk-muluk. Tak apa-apa punya cita-cita sederhana, asal kita mau tekun dan bersungguh-sungguh mewujudkannya.“ Gadis itu nyengir. "Tafsiranku salah atau enggak, Bu?"
Lala manggut-manggut lalu beranjak mengambil satu eksemplar buku dari rak.
Haeli menerima uluran buku tebal tersebut sambil berseru, ”Heyya! Benar—buku ini!” Gadis itu menatap Lala dengan mata sangat berbinar.
”Aku melihat buku ini di rumah Bibi dan aku suka ceritanya. Sewaktu ia bilang penulisnya rumahnya enggak begitu jauh dan ia seorang yang ramah, aku senang bukan main. Aku baca buku yang ini, nih! Benar, yang ini, nih!”
”Aku sering mendongeng untuk anak-anak di perpustakaan desa. Mungkin aku pernah bertemu bibi atau saudaramu," kata Lala.
”Dua hari lalu aku berhasil menemukan rumahmu tapi aku masih ragu. Berkali-kali aku ke sini, cuma sampai halaman depan saja. He-he. Akhirnya sore ini aku memberanikan diri bertemu denganmu, Bu Corbijn. He-he."
Lala menawari Haeli makan malam. Ia akan merebus makaroni dan membuat saus pasta, tapi gadis itu menolak dengan sopan. "Enggak usah repot-repot, Bu Corbijn, sebentar lagi aku juga akan pulang."
”Bu,“ kata Haeli kemudian, ”Aku punya waktu sekitar... emm... seminggu di kota ini sebelum kembali berkuliah. Apa kita bisa memanfaatkan waktu sempit itu? Itu pun kalau Ibu enggak sibuk, lho. Aku akan menceritakan mengenai Hari Bandel dan cita-citaku yang ingin menjadi perompak. Setelah itu, Ibu bebas menuliskan ceritaku dalam bentuk novel. Nanti, aku akan beli satu eksemplar dan minta tandatangan.”
Lala Corbijn menawari Haeli beberapa persen dari pendapatan royalti buku; gadis itu bisa menggunakannya sebagai biaya pendidikan atau untuk bersenang-senang membeli pakaian atau makanan. Bagaimana pun, ini cerita miliknya dan ia masih kuliah.
Haeli menggeleng, "Halaaah, enggak usah, sih, Bu."
Gadis itu suka rela memberikan ceritanya dan cukup senang bila ibu penulis di hadapannya mampu mewujudkannya dalam bentuk novel.
"Kalau ibu memaksa, duit bagianku Ibu beliin saja koleksi-koleksi buku anak baru untuk perpustakaan desa. Supaya Ibu bisa mendongeng lebih sering dengan banyak cerita baru," kata Haeli.
Lala setuju dengan ide itu. Ia menawari Haeli untuk membikin surat perjanjian dan lagi-lagi gadis itu menggeleng. Haeli awalnya juga menolak lima eksemplar gratis novel Hari Bandel dan uang muka novel untuknya.
Setelah dipaksa gadis itu akhirnya menerima tawaran Lala.
”Uangnya bisa kamu pakai untuk pacaran,“ kata Lala. ”Romeeo ya namanya?“
Haeli tersenyum lebar antara malu-malu dan senang karena digoda. "Aah, Ibu apaan, sih...."
Mereka kemudian menyusun jadwal kapan akan ketemuan. Setelah ngobrol singkat, Haeli berjanji akan rutin pergi ke rumah Lala pagi hari, sekitar pukul 10.
Malam ini tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Haeli pamit. ”Aku pasti sudah ditunggu untuk makan malam oleh Paman dan Bibi. Terima kasih banyak untuk waktunya, Bu Corbijn.“
Sepeninggal Haeli, Lala membikin satu porsi makan malam untuk dirinya sendiri. Perutnya sudah lapar bukan main.
Lala segera menyiapkan peralatan memasakkan. Ia memasukkan bulatan-bulatan makaroni yang keras -- saat berbenturan dengan dasar panci makaroni itu berbunyi pating kerotok -- sambil mengingat-ingat cerita mengenai Hari Bandel yang dituturkan Haeli.
Hari Bandel. Astaga! Betapa asyiknya! Seandainya Lala masih usia remaja dan tinggal di Blatt Hav, tentu akan bersuka cita setiap tanggal 3 Juli tiba.
Berenang di laut!
Makan pai apel dan teh susu!
Permen jeli!
Dan—oh, makaroni Lala gosong. Terlalu asyik melamun sambil menghaluskan tomat dalam blender membuat perempuan paruh baya itu alpa mengecek panci.
Kompor buru-buru dimatikan. Makaroni yang sudah empuk bahkan cenderung lembek ini masih bisa-lah untuk makan malam, tinggal diaduk pelan-pelan dengan saus tomat yang akan dicampur dengan daging giling yang sudah disangrai dan keju yang sudah dilelehkan. Dan—teh susu.
Menu makan malam Lala kali ini makaroni dan teh susu. Di supermarket tadi ada potongan harga miring untuk varian pasta mereka tertentu. Aroma makaroni yang lembek, saus tomat, daging giling, dan keju yang panas benar-benar menggoda selera.
Perut Lala kembali berkerucuk lapar.
Lala makan malam sendiri sambil menonton televisi yang tidak ia perhatikan sungguh-sungguh. Selesai makan malam dan mencuci peralatan makan dan masak, Lala mengetik ulang prolog cerita Haeli mengenai Hari Bandel. [bersambung]
1 Nama desa fiktif yang dalam bahasa Norwegia versi Google Translate berarti Laut Biru.
2 Nama pulau fiktif yang dalam bahasa Norwegia versi Google Translate berarti Ombak Besar