Sabtu, 14 November 2015

Ne Romantique Pas Paris

My deep condolence for the victims of #ParisAttacks at Friday, November 13th, 2015.

Mengenai Paris yang tidak romantis, sudah bukan lagi hal asing untukku. Bila memandang adalah melulu romantis dan manis, tentu itu hasil dari pantengan brosur wisata atau hasil didikan film-film Hollywood. 

Bila belum pernah ke Paris atau Prancis wilayah manapun, setidaknya dengan menonton filmnya pun bisa mewakili. Dan, sesungguhnya, bila kau berhasil menemukan dan menonton film tepat, membaca buku-buku dari sastrawan kawakan baik kelahiran Prancis atau imigran dari Aljazair macam Sartre, maka kau akan tahu bahwa kehidupan warga Prancis jauh lebih pahit ketimbang cerita di dalam film-film romantis mengenai cinta di Paris.

Bahwa sesungguhnya Paris itu keras dan kejam. Atau wilayah selatan Prancis. Orang-orang Senegal tinggal di kawasan kumuh selatan Prancis. Kaum muslim yang kesulitan ketika berinteraksi dengan warga Prancis asli. Penusukan. Rasis. Pencopetan. Lingkungan rawan kejahatan. Rumah sempit. Ibu-ibu suka mengomel panjang. Berteriak-teriak saling maki antar tetangga. Stasiun Metro yang tidak ramah pada 'kaum gembel' atau backpacker. Dan masih banyak lainnya.


Tentu, di setiap negara pasti memiliki kekurangan dan kelebihan. Akan sangat naif bila kita sampai menyebutkan ada negara yang begitu sempurna sehingga selalu terlepas dari kesalahan. Misalnya saja, negara Arab--hanya karena Islam 'lahir' di sana.

Begitu juga dengan Paris, Prancis, yang memiliki kelebihan dan tentu saja kekurangan. Bila framing pikiran dan pengetahuan kita bahwa Paris adalah melulu manis, tentu akan kaget sekali ketika mendengarkan berita penyerbuan tak tanggung-tanggung (sekaligus tak berperikemanusian) oleh ISIS. Namun, bila setidaknya mengetahui bahwa Paris tak melulu romantis, dengan tetap tidak menafikkan perbuatan teroris itu merupakan tindakan biadap, Prancis dan Paris khususnya yang mencekam bukanlah hal yang sama sekali baru.

Namun, hal tersebut bukan berarti tindak kesewenang-wenangan menghilangkan nyawa manusia menjadi hal yang wajar. Tidak, sama sekali tidak. Atas nama kemanusiaan, atau setidaknya luangkan sedikit waktu dan sedikit sisi kosong di dalam hati nuranimu, tanggalkan 'ketinggihatian' dalam beragama, sekali lagi atas nama kemanusiaan, berempatilah untuk para korban serangan ISIS di Paris. Juga bagi warga malang di Meksiko, Kenya, Jepang, Syria, dan negara-negara bertikai di Timur Tengah. Sekali lagi, atas nama kemanusiaan.

Bila memang hanya mampu mendoakan, ya doakan. Bila berurun rasa dengan mengganti foto profil di Facebook, juga tidak apa-apa. Bahkan jika hanya hestek #PrayForParir atau #PrierPourParis! Apabila bisa melakukan lebih, seumpama dengan terjun langsung ke lokasi sebagai petugas kesehatan, tentu akan lebih baik. Apapun tindakan turut berbela sungkawa, baik ditampakkan, disiarkan, atau dikatakan dan dilakukan secara diam-diam, tidak ada yang salah.

Semua orang sama di mata Tuhan, kecuali nilai ibadahnya (itupun yang berhak menilai totalitas ibadah hanyalah yang Kuasa), taklid buta dan ketidakdewasaan mental dalam menjalankan ibadah agamanya yang menjadikan manusia pongah dan... kekanak-kanakan. [dps]




Copyright © 2010- | Viva | Kaffee Bitte | Desi Puspitasari | Daily | Portfolio