Senin, 26 Oktober 2015

Cerpen SUARA NTB 24 Oktober 2015 - Begitu Luka, Begitu Dini di Bromo

Sabtu pagiku, 24 Oktober 2015, dimulai dengan pelukan dusel-dusel dan kabar bahwa cerpenku berjudul BEGITU LUKA, BEGITU DINI DI BROMO dimuat koran SUARA NTB. 

Cerpen ini berangkat dari perjalananku ke Bromo medio 2013. An impulsive traveling. Pagi hari aku tiba di Surabaya mengunjungi tante, dan malam harinya bersegera pergi ke Gubeng dan mendapatkan tiket kereta terakhir, kereta malam ke Malang untuk pergi ke Bromo. 

Cerita ini murni rekaan. Aku tulis dengan menggabungkan tangkapan visual, rasa, dan pengalaman selama berada di Bromo dan ingatan saat menonton televisi (tayangan American Next Top Model di salah satu kanal televisi kabel), satu mimpi besar yang masih belum terwujud (menjadi fotografer profesional), dan membaca Nagabumi dari Seno Gumira Ajidarma. 


Seorang gadis kecil memeluk pinggang bapaknya erat-erat, kakinya menggantung di sisi samping perut kuda, tubuhnya berbalut jaket tebal, topi dibenam begitu rapat, anak kecil itu tampak seperti gulungan bola kain kumal. Di bagian belakang tampak sedikit matahari pagi yang bersemburat oranye cerah. Seorang wisatawan yang mengambil gambar mereka—yang setahun kemudian datang lagi ke Bromo untuk menyerahkan versi cetaknya.

Pemilik studio menyukai kerja keras, ketekunan, dan hasil jepretan out door­-nya. Ia dibilang memiliki sudut pandang sisi liar alami. Begitu murni dan tulen bila dibanding dengan mata fotografer yang sejak lahir hingga dewasa hanya tinggal di kota besar. Mereka kemudian menjadi dekat.


"Aku membayangkan kau dalam gaun pengantin rancangan Mikaela Schipani. Gaun pengantin dengan model pakaian silat; berlengan panjang, celana komprang, berkibar, dan minimalis warna. Kain merah marun membebat erat pinggangmu yang ramping, sandal bertali tinggi berwarna cokelat. Yang menunjukkan bahwa itu adalah gaun pengantin hanyalah dominan warna putih gading pada keseluruhan, juga bridal bouquet, dan kain panjang berenda tipis yang mengikat rambutmu serupa ekor kuda. Kau, seperti pendekar kemudian melenting ringan ke atas. Seperti terbang. Kemudian duduk anggun di atas pelana. Menggunakan continous shot, dengan pengambilan sudut pandang yang tepat, aku bisa menghasilkan montase gambar melayang yang indah.”

Cerpen selengkapnya sila dibaca di tautan INI.

Then, I made a light joke to Masku by sayin' this:

Probably, this is the most 'traveling' short story. The writer (c'est moi, bien sur) was born in Madiun, now living in Yogyakarta, the story took place in Bromo, and it finally published in NTB. 
Copyright © 2010- | Viva | Kaffee Bitte | Desi Puspitasari | Daily | Portfolio