Selasa, 04 November 2014

Bagaimana Novel “the Strawberry Surprise” Difilmkan

Bagaimana bisa novel “the Strawberry Surprise” dipilih untuk difilmkan?


Bisa saja. Kenapa enggak? Begini caranya: aku menggunakan jasa dukun santet kenamaan dari seluruh penjuru Indonesia dan bahkan dunia—Zimbabwe terutama. Kau tahu, mereka hanya perlu membakar kelembak dan mengipaskan asap menggunakan surban mereka yang bermeter-meter panjangnya ke Jakarta sehingga produser jatuh hati dan mengadaptasi novelku ke dalam film.

Tentu enggak begitu. Tapi lebih karena aku menulis cerita romance sesuai yang aku inginkan. Sebagai seorang penulis yang tidak suka membaca novel populer cinta dengan kisah mendayu dengan tokoh protagonis bernasib sedemikian memelas dan antagonis bisa sedemikian culas, aku memutuskan untuk menulis apa yang aku mau. Aku bermain-main, bersuka-suka sebebasnya dan jujur. Ini ceritaku, maka terserah aku mau membikin yang kayak bagaimana.

Percayalah, karena kebebasan—berjiwa bebas dan jujur dalam mencipta itu sangat penting dan mutlak dimiliki seorang penulis (genre apapun ia).

Menggunakan formula “bahwa tidak ada yang hitam putih”, aku menciptakan tokoh protagonis yang menyebalkan, dan tokoh antagonis dan mampu menarik iba dengan plot yang enggak linear. Penulis adaptasi skenario film “Strawberry Surprise” menyebutnya kompleks sampai sempat membikinnya kelimpungan, produser dan sutradara menyebutnya berani dan berbeda.

Berikut aku kutipkan pernyataan produser, sutradara, dan penulis skenario berdasar press release film “Strawberry Surprise”:


STRAWBERRY SURPRISE – Ibarat Stroberi, Cinta adalah Rangkaian Kejutan Rasa


Catatan Produser: Chand Parwez Servia

Berniat mengisi kelangkaan film romantis yang indah, membekas di hati dan jadi tontonan abadi, dibarengi keinginan Hanny R Saputra berkarya kembali di Starvision, mulailah dicari ide cerita yang berbeda, realis sesuai kondisi kekinian, tapi romantis dan representatif. Lebih dari setahun hingga akhirnya novel “the Strawberry Surprise” karya Desi Puspitasari ditemukan; kisah cinta khas Indonesia, cinta terkendali jarak dari angkatan muda yang seringkali terpaksa membuat pilihan kerja demi karier dan masa depan.

Kombinasi tiga perempuan: penulis novel Desi Puspitasari, penulis skenario Oka Aurora, dan editor Aline Jusria yang apik menyusun rangkaian gambar peristiwa dalam Strawberry Surprise yang dibesut Hanny R Saputra, melengkapi capaian karya ini sesuai harapannya. Genangan rasa antar karakter membuat Strawberry Surprise menjadi kisah cinta yang jujur dan penuh kejutan.


Catatan Sutradara: Hanny R Saputra

Sudah sangat lama saya tidak bekerja sama dengan Pak Parwez (Starvision). Perpisahan yang lama tentu memberi pengalaman yang banyak dan berbeda pada kami berdua. Pikiran-pikiran baru tentang film seperti apa yang menarik dan sesuai penonton saat ini (cerdas, realistis, dan berselera global) menjadi perbincangan kami.

Pak Parwez ingin membuat film romantis yang mendalam (mungkin Pak Parwez masih melihat itu sebagai spesialis saya), dan tema romantis yang saat ini jarang diproduksi di perfilman Indonesia. Satu pertanyaan dalam pikiran saya, film romantis yang seperti apa yang cocok dengan penonton film saat ini? Jawaban saya adalah membuat film romantis dengan pendekatan realistis.

Pak Parwez meminta saya membaca novel “the Strawberry Surprise”. Saya terkesima setelah membaca novel ini. Menurut saya ini adalah novel eksperimental yang berani, dengan memainkan karakter-karakter yang rumit dan kompleks, bahasa yang berat dan ditambah struktur cerita yang tidak linier (maju mundur antara masa kini dan masa lalu). Lengkaplah penilaian saya untuk menganggap novel ini sebagai novel seni yang mengambil tema tentang cinta. Sebuah novel serius yang rumit dibuat menjadi film romantis yang encer dan bisa diterima semua kalangan merupakan tantangan luar biasa. Tapi, yang pasti untuk kemajuan perfilman kita di kemudian hari, kita membutuhkan penulis-penulis seperti Desi Puspitasari. Kebebasan dan keberaniannya sangat kita butuhkan untuk membuat inovasi-inovasi baru di dunia perfilman Indonesia, dan ini sangat mewakili semangat generasi muda saat ini.


Catatan Penulis Skenario: Oka Aurora

Sepanjang membaca novel ini tak henti-hentinya saya berpikir, “God, am I in trouble?”

Alur cerita kaya kilas balik, karakter tokoh utama yang kompleks, dan bahasa percakapan yang ‘berat’ membuat saya memutar otak mencari cara untuk mengadaptasinya menjadi lebih ringan, mengalir, namun tetap sekompleks alam pikir tokoh Aggi.

Terima kasih Desi Puspitasari yang telah memaksa saya mengunyah dan menelan cerita sepanjang 267 lembar yang asam dan pedih ini. Karena di ujung ceritanya akhirnya saya menemukan betapa manis cerita ini sebenarnya.


Berani Beda

Murakami barangkali telah menjadi aliran mainstream (semua orang membaca dan membicarakan Murakami), tapi kutipan “If you only read the books that everyone else is reading, you can only think what everyone else is thinking” aku kira masih sah saja untuk dibicarakan.

Jarang atau hampir enggak pernah membaca novel romance bisa dibilang salah satu cara membikin ide dan menulis yang berbeda. Bukan sengaja menghindari, tapi aku memang kurang suka membaca novel romance. Selain sastra (aku pikir semua yang punya keinginan menjadi penulis harus membaca karya sastra dengan tema yang kadang berat dan serius—ini akan membantumu belajar merumuskan permasalahan atau konflik dalam cerita, selain mengatur plot dan karakteristik yang kuat dan unsur intrinsik lain dalam tulisan), aku menyukai novel—aku kira hanya menyukai novel sastra dan novel anak-anak bandel macam yang ditulis oleh Enyd Blyton. Dan, bukan lagu pop cinta (aku menyukai Led Zeppelin dan Queen, anyone?), dan film macam No Country for Old Men (diadaptasi dari novel berjudul sama karya Cormac McCarthy). Dan, ternyata kesukaan yang jauh dari kosakata ‘cinta’ tersebut malah memberi keuntungan—selain realis, ceritaku juga enggak pasaran.

’Keterbatasan’ (pengetahuan yang minim mengenai cerita cinta) menciptakan celah kreativitas yang cenderung baru dan segar, bukan?

Mengenai keberanian menulis ‘berbeda’, sebenarnya lebih karena aku tidak memiliki kemungkinan lain. Membaca cerita cinta saja aku enggak betah, bagaimana kemudian aku bisa menuliskan cerita romance yang senapas? Tentu enggak bisa. Itu kenapa kemudian aku berani mengambil jalan menulis cerita cinta dengan cara ‘suka-suka aku’ dan ‘semau aku’.

Kalau kata Chuck Palahniuk (penulis Fight Club yang difilmkan dengan aktor Brad Pitt dan Edward Norton):

Write the book you want to read!


Riset, Tekun, dan Teliti

Menulis yang ’semau aku’ hanyalah cara. Selebihnya tidak boleh seenak udel sendiri. Di sini aku sedang membicarakan riset mengenai tema yang hendak ditulis dan segala hal yang meliputinya. Tema “stroberi” yang harus dianalogikan menjadi tema besar novel romance tentu bukan hal yang mudah untuk dicari penjabarannya.

Aku mencari tahu segala hal yang berhubungan dengan stroberi (buah, parfum, lipbalm, ilmu pertanian, dan semuanya) kemudian aku analogikan dengan kisah cinta. Yang aku dapatkan kemudian adalah: kecut manisnya buah stroberi yang enggak terduga itu sama seperti kisah cinta. Dari satu kalimat tersebut kemudian aku mencari ide besar, merinci karakter, dan menyusun plot.

Sabar, tekun, dan teliti saat hendak dan sepanjang proses menulis memang melelahkan. Letih bukan main. Tapi, enggak apa-apa. Demi tulisan yang bagus dan menarik dan dilirik produser sekelas Starvision dan dibintangi oleh Acha Septriasa, Reza Rahadia, dan Olivia Jensen, semua keringat kerja susah payah itu terbayar lunas dalam bentuk penghargaan dan kebahagiaan, bukan?

Selain beberapa poin yang aku tulis di atas, mengenai berani menjadi beda dan sabar dan teliti, tentu masih dibutuhkan banyak perangkat lain dalam menulis. Spirit yang baik tentu perlu didukung teknik yang juga enggak kalah penting.




Copyright © 2010- | Viva | Kaffee Bitte | Desi Puspitasari | Daily | Portfolio