Minggu, 27 Maret 2011

“La Vie”







(Koran Tempo, 27 Maret 2011)




“INGIN mati.”

“Pagi, Ange,” Tristan menyapa dengan nada biasa. Terlalu sering ia mendengar kalimat yang sama. Kalimat favorit Angelie. Tristan tidak lagi ambil pusing dan cemas. Pura-pura saja tidak mendengar. Tidak menanggapi.

“Tristan,” rengek Angelie. Rambut panjang cokelat kusamnya terlihat jelek di remang ruangan. Raut wajahnya kuyu. “Kapan aku….”

“Sarapan? Aku siapkan kopi sekarang.” Tristan pergi ke dapur.

“Tidak mau makan,” Angelie memberengut. “Mau mati.”

Tristan keluar dapur membawa secangkir kopi dan piring berisi beberapa keping biskuit. Ia meletakkannya di meja di samping sofa Ange.

Angelie memasang muka masam.

“Aku tidak mau makan. Aku cuma kepingin….”

“Tapi aku tidak kepingin, Ange,” suara lembut Tristan memotong.

“Kau menyebalkan, Tristan,” Angelie bersungut-sungut.

“Karena aku menyayangimu.”

Gadis itu mendongakkan kepala. Menatap mata kakak laki-lakinya dengan pandangan menyelidik. Mencari kesungguhan.

Tristan mengusap matanya buru-buru.

Angelie melengos. Ia tidak ingin larut dalam kesedihan Tristan. Ia tidak ingin air mata itu mengubah keinginannya. Ia sudah mantap dan yakin. Mati. Memangnya apa lagi?

Tristan beranjak membuka tirai jendela.

“Jangan kau buka. Berapa kali harus kukatakan aku tidak suka matahari. Aku benci cahaya matahari.”
Laki-laki itu tetap menggeser tirai ke samping. Cahaya hangat matahari menyorot masuk. Mengusir remang dalam ruangan. Ujung rambut dan bahu Tristan berpendar terkena berkas sinar. “Hidup ini indah, Ange.”

Angelie tidak bereaksi apa-apa. Sudah terlalu sering mendengar, hingga rasanya seperti mati rasa, mati kata.
“Aku berangkat kerja sekarang. Waktu istirahat siang aku akan kembali ke sini. Membawakan makan siang, dan mungkin masih sempat mengganti air Julien.”

Julien adalah seekor ikan mas koki kecil hadiah dari Tristan. Ikan itu berenang berputar-putar sambil mengipas-ngipaskan ekor.

“Tidak usah repot-repot.”

“Nanti malam, semoga aku bisa membujuk Bridgite. Kita akan malam bersama di sini. Kau tahu, ia sedang hamil muda. Kau tahu, betapa repotnya kalau dia….”

“Tidak usah repot-repot.”

“Aku pergi dulu, Ange,” Tristan mengecup kening adik perempuan satu-satunya. Lalu beranjak keluar.

“Tutup jendelanya.”

“Sampai ketemu lagi, Ange sayang,” kata Tristan sebelum menutup pintu.

Ketika Tristan tak tampak lagi, Angelie bangkit dari sofa. Tangan kurusnya menutup kembali tirai jendela. Ruangan tempat tinggalnya kini kembali redup. Gadis itu memaksa kakinya yang terasa lemah menuju kaca setinggi tubuh yang terletak di ujung ruangan. Sisa geliat matahari memaksa masuk melalui ventilasi sempit jendela. Membiaskan sosok Angelie.

Rambut kusam. Wajah kusam. Kulit tangan dan kaki yang sama sekali kusam. Lingkaran hitam menggayut menjadi kantung mata. Semua yang ada padanya tampak kusam. Tidak bercahaya.

Penyakit sialan!


“TUBUH yang indah, Cantik!” seru Thomas penuh suka cita. Seorang kakak angkatan mempesona di kampus. “Sayang kalau kau tutup begitu saja. Tanpa perlu kau pamerkan. Terutama padaku.”

Tatapan matanya sungguh menghanyutkan.

“Dengarkan aku, Angelie, hidup cuma sekali. Nikmati dan coba setiap kenikmatan yang ada. Percayalah padaku. Mungkin kau bisa menyebut kalimatku ini terlalu kuno, tapi benar. Apa yang kukatakan adalah nasihat yang benar. Kau boleh setuju boleh tidak.”

Angelie memilih resiko: setuju. Hingga terasa ada yang berbeda di dalam tubuhnya. Ia memutuskan untuk berhenti kuliah. Seorang diri menantang maut yang ditawarkan oleh aborsi ilegal.

Calon bayinya berhasil direnggut mati memang, tapi jejak Thomas masih terus ada. Virus mematikan. HIV.
Beberapa bulan kemudian, seperti yang diberitakan televisi lokal, Thomas ditemukan mati saat sedang berpesta heroin seorang diri di kamar apartemennya.

Thomas memang pergi selama-lamanya, tapi penyakit itu masih terus ada.

Tristan akhirnya tahu setelah menyaksikan perubahan yang terjadi pada tubuh Angelie. Semakin lama semakin menyurut dan menyusut habis.

Angelie menolak ditempatkan di panti khusus. “Sama saja mengingatkanku pada Thomas. Sialan,” Angelie berkata pahit.

Tapi Bridgite, istri Tristan, berkeras tidak mau tinggal dengan seorang berpenyakit. “Aku tahu, tidak menular melalui udara yang kuhirup. Tapi aku tetap saja tidak mau. Aku takut.”

Tristan turun tangan. Ia menyewa sebuah rumah kecil untuk adiknya. Dan ia bolak-balik mengurus dua wanita dalam hidupnya.

Tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Bunuh diri bukan cara kematian yang Angelie inginkan. Ia ingin semua berjalan wajar. Dan ia sangat menanti saat itu tiba.

Gadis itu menghela napas. Tangisnya terasa tersangkut di tenggorokan. Cukup seperti itu. Tidak akan ada tangisan. Angelie terseok kembali ke tempat duduk. Sambil menggumam pelan, ia menggigit kecil biskuit sebagai sarapan.

Terus menggumam. Mati. Mati.

Sore hari Tristan kembali datang. Sama seperti hari sebelum-sebelumnya, semuanya berjalan monoton dan membosankan. Tristan menyiapkan segala sesuatunya, Angelie dengan gumaman suramnya.

“Maafkan aku, Ange, aku tidak bisa memaksa Bridgite….”

“Tidak usah repot-repot. Dia bisa datang ke pemakamanku besok-besok. Itu pun kalau dia sudi.”

Tristan tidak berkata apa-apa.

PAGI ini Tristan sepertinya akan datang terlambat. Sisa malam masih menggantung di sudut-sudut ruangan. Meninggalkan remang yang merata. Angelie tidak menunggu kakak laki-lakinya. Ia hanya menunggu. Lama-lama gadis itu merasa bosan sendiri dengan ratapannya.

Pagi yang membosankan.

Sisa hidup yang membosankan.

Memang benar. Akan lebih baik kalau saja ia segera….

Terdengar suara gelak tawa. Begitu riang. Begitu sempurna. Begitu menyenangkan.

Angelie berhenti bergumam. Ia menajamkan pendengaran. Tawa itu masih ada. Dengan memaksakan langkah kaki yang ringkih, Angelie mendekati jendela dan membuka tirainya.

Ia sendiri yang membuka tirai jendela. Bukan Tristan, seperti biasanya. Untuk kali pertama, setelah hampir setahun berlalu.

Berkas cahaya matahari menerpa sebagian tubuhnya.

Angelie duduk sambil menyandarkan kepala di kusen jendela yang besar. Ada seorang malaikat yang dikirim untuknya. Pagi menjelang siang ini. Gadis mungil yang sedang tersenyum seusai tergelak di antara cahaya matahari yang tumpah di halaman depan rumah. Tersenyum sambil memandang. Ke arah Angelie.

Rasa hangat merayap perlahan di hati Angelie.

Bukan sinar matahari.

Gelak murni, polos, tanpa dosa, dari seorang anak kecil membikin sedikit perbedaan. Hal yang tidak pernah ia sangka-sangka sebelumnya.


KEESOKAN pagi yang lain, Tristan kembali terlambat datang. Angelie tidak peduli. Kini, hampir setiap pagi, ia duduk di dekat jendela. Menikmati keindahan senyum seorang malaikat menjadi kebiasaan baru Angelie.

Lihat! Gadis itu sekarang melambaikan tangan.

Angelie membalas dengan menarik senyum yang masih terasa lemah.

Begitu Tristan tiba, biasanya Angelie sudah kembali menutup tirai jendela dan duduk termenung di kursinya. Dan Tristan mulai menyimpan segumpal pertanyaan dalam hati. Betapa umpatan dan keinginan mati itu semakin jarang terucap.


“PAGI, Ange,” sapa Tristan sambil buru-buru masuk.

“Maaf aku terlambat. Akhir-akhir ini Bridgite selalu mual saat pagi.”

Angelie diam saja. Kali ini ia masih bertahan duduk di tepian jendela.

Tristan berhenti bicara. Ia meletakkan tas kerjanya demi merengkuh pundak ringkih adiknya. Lalu berbisik, “Apa yang kau lihat? Apa yang kau lihat, Ange?” Angelie belum berkata-kata.

Tristan mengecup kening adiknya. Menunggu jawab.

Tangan kusut Angelie mengeratkan pelukan Tristan. Ia menggeser kepala dan menyandarkan tubuh pada Tristan. Nyaman.

“Aku melihat malaikat. Tersenyum padaku, Tristan. Aku tidak tahu dari mana ia datang. Gelak tawanya seperti memanggilku. Aku melihat keluar jendela. Rasanya seperti ia sedang menyapaku. Dan mata bulat hitam kecilnya….”

Tristan mendengarkan baik-baik.

“Dia tidak punya sayap di punggung. Dia mengenakan pakaian musim panas yang berwarna-warni. Dan skarf lucu yang menutupi seluruh kepala dan rambutnya.”

Tristan tidak mengerti.

“Ia lucu sekali. Pipinya tembam, seperti menyesak keluar dari balik skarf setiap saat ia tersenyum. Matanya, seperti yang kukatakan tadi, bulat dan hitam. Mungkin cokelat. Ah, sudahlah. Mata itu terlihat begitu polos dan bercahaya. Kau percaya?”

“Dia masih di tempatnya?” Tristan melongokkan kepala penasaran.

Angelie mengangkat bahu. “Sudah pergi. Dia mampir sebentar, menyapa, lalu pergi.”

Tristan belum sepenuhnya mengerti. Tapi ini hal yang baik untuk Angelie daripada hari-hari sebelumnya. Ia melirik jam di pergelangan tangan. Sepertinya sudah sangat terlambat untuk berangkat ke kantor. Dan Tristan memutuskan untuk tidak berangkat. Lebih baik ia menemani Angelie sehari ini. Gadis ringkih itu sedang mencoba menghirup kembali napas semangat untuk bertahan. Tristan tidak ingin terlewat sedikit pun.

Hidup.


MATAHARI pagi kembali bersinar cerah. Kelopak bunga yang mengangguk-angguk seakan ikut mengantarkan wangi kelopaknya. Dunia tersenyum.

“Ibu, es krim ya?” Dan sebuah tangan kecil menarik ujung pakaian seorang wanita yang dipanggil ibu.
Perempuan paruh baya itu berhenti berjalan. Ia menoleh dan menunggu. Matanya mengisyaratkan sesuatu.
Anak kecil itu diam sejenak lalu terkikik kecil. “Ya, ya, Ibuuu…. Tidak setelah dari rumah sakit. Kemoterapi. Mual dan muntah. Tidak bisa makan es krim.”

Perempuan itu membungkukkan badan, mengecup kening gadis kecil itu.

“Ibu, tahu tidak?”

“Hm, tidak?”

Anak itu menarik ibunya sampai di depan sebuah rumah kecil. Lalu berhenti di dekat pagar. Telunjuk kecil dan bulat pada tiap ruas-ruasnya jarinya menunjuk ke arah sebuah jendela. “Kemarin ada kakak yang sedang bersedih. Lalu aku tersenyum, Ibu. Juga melambaikan tangan!”

Perempuan itu turut menoleh. Benar. Seraut wajah sedikit tampak dari balik jendela. Ia tidak pernah memperhatikan sebelumnya.

“Tapi hari ini dia sudah tidak sesedih kemarin. Dia cantik, Ibu. Wajahnya bercahaya.”

Ibu anak mengangguk. “Pergi sekarang? Sebentar lagi bus kita datang.”

Anak kecil itu menghela napas. Untuk sekian detik, sebelum akhirnya kembali mengembangkan senyum. Ia melongokkan kepala mencari seraut wajah di balik jendela. Lalu ia melambaikan tangan kecilnya sebelum berlalu menuju halte bus.

“Pagi, Nyonya,” Tristan yang baru saja turun dari mobil berpapasan dengan ibu dan anak itu di trotoar.

“Pagi, Paak!” gadis itu berteriak sambil terus mengembangkan senyum lebar. Ia sangat suka menyapa orang dewasa dengan senyum dan tawa. Rasanya menyenangkan!

Ibu gadis kecil itu menganggukkan kepala sebelum berlalu berdua.

Tristan berhenti di depan pagar rumah. Ia menoleh dan memperhatikan dua orang itu. Skarf warna-warni? (*)



 

Copyright © 2010- | Viva | Kaffee Bitte | Desi Puspitasari | Daily | Portfolio